//

RUKUN SHALAT (BAG. 3): MEMBACA AL-FATIHAH, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII

KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII

RUKUN SHALAT (BAGIAN KE-3)
4. Membaca Surah al-Fatihah.
Membaca surah al-Fatihah dalam shalat adalah rukun, baik shalat fardu maupun shalat sunah, dan baik sebagai imam, makmum maupun orang yang shalat sendirian. Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca surah al-Fatihah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Surah Al-Fatihah
Surah Al-Fatihah

Adapun dalil kewajiban membacanya bagi makmum adalah hadits Ubadah bin Shamit RA, ia berkata: “Kami shalat Shubuh bersama Rasulullah SAW. Lalu beliau membaca Alquran tetapi agak tersendat dalam membacanya. Ketika selesai shalat beliau berkata: “Sepertinya kalian membaca Alquran di belakang imam kalian.” Kami menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Maka beliau bersabda:
 
لَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
“Jangan kalian lakukan kecuali membaca surah al-Fatihah, karena tidak sah shalat bagi yang tidak membacanya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Syarat membaca al-Fatihah
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sah dalam membacanya. Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Membaca setiap ayatnya secara berurutan.
  2. Membaca secara terus berkelanjutan dan tidak terputus (al-muwâlah). Jika antara dua ayat terpisah jarak melebihi seorang bernafas maka batal shalatnya.
  3. Menyebutkan setiap huruf dengan benar sesuai makhrajnya (tempat keluar huruf). Jika salah satu hurufnya tidak dibaca atau diganti dengan huruf lain maka shalatnya tidak sah. Di dalam surah al-Fatihah terdapat 156 (seratus lima puluh enam) huruf termasuk huruf yang ditasydid (didobel).
  4. Menjaga setiap tasydid hurufnya. Ada 14 (empat belas) huruf yang bertasydid dalam al-Fatihah. Jika tidak membaca tasydid pada huruf yang bertasydid maka bacaannya tidak sah sehingga harus diulang. Sebaliknya, jika membaca tasydid bacaan yang tidak bertasydid sehingga merubah makna maka tidak sah juga bacaannya. Bahkan, shalatnya menjadi batal jika dilakukan secara sengaja.
  5. Tidak berhenti dalam membaca baik lama maupun sebentar dengan maksud memotong bacaan.
  6. Membaca seluruh ayatnya. Termasuk bacaan basmalah.
  7. Tidak salah membaca yang dapat merusak makna. Jika merusak makna seperti: “an’amtu” atau “an’amti” maka batal shalatnya.
  8. Membacanya dalam keadaan berdiri secara sempurna dalam shalat fardu. Jika dibaca sambil merunduk ketika akan rukuk atau akan bangkit berdiri maka bacaannya tidak sah.
  9. Memperdengarkan bacaan itu kepada dirinya. Karena al-Fatihah merupakan rukun qauli (rukun bacaan).
  10. Tidak disisipi bacaan zikir asing, yaitu zikir yang tidak ada kaitannya dengan shalat, seperti membaca “alhamdulillah” setelah bersin, dan menjawab azan. Yang termasuk zikir bukan asing adalah seperti melakukan sujud tilawah, membaca “amin”, dan berdoa memohon rahmat atau perlindungan dari azab.
  11. Tidak membacanya dengan maksud lain selain bacaan shalat. Jika membacanya untuk mendapatkan keberkahan, zikir atau doa maka tidak sah bacaan tersebut.
  12. Membacanya dalam bahasa Arab, karena terjemahan al-Fatihah bukan Alquran.

Tidak mampu membaca surah al-Fatihah
Seorang harus mempelajari surah al-Fatihah sampai dapat membacanya dengan baik. Jika telah belajar tapi belum bisa membaca dengan baik sementara waktu shalat sudah akan berakhir maka ia boleh shalat dengan keterbatasannya tersebut. Shalatnya dihukumi sah namun ia tetap harus terus belajar hingga bisa. Jika seorang malas atau lalai sehingga tidak bisa membaca al-Fatihah padahal ia mampu melakukannya karena terdapat waktu dan pengajar maka ia berdosa dan shalatnya tidak sah.
Selain kemampuan membaca maka terdapat beberapa hal lain yang harus ia lakukan, yaitu:
  1. Menghapal surah al-Fatihah.
  2. Jika tidak mampu menghapalnya maka harus menuliskannya di sebuah kertas dan membacanya dalam shalat.
  3. Jika tidak mampu menulis dan membacanya maka ia harus membaca tujuh ayat yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf al-Fatihah (156 huruf).
  4. Jika tidak mampu maka membaca tujuh bacaan zikir yang hurufnya tidak kurang dari huruf al-Fatihah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan seorang lelaki tatacara shalat. Beliau bersabda:

فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ، وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ
“Jika kamu memiliki hapalan Alquran maka bacalah. Jika tidak maka bertahmidlah, bertakbirlah, dan bertahlilla.” (HR. Abu Daud).

5. Jika tidak mampu maka ia cukup berdiam selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca al-Fatihah.


Gugurnya bacaan al-Fatihah
Secara hukum asal, membaca al-Fatihah dalam shalat adalah rukun yang tidak dapat ditinggalkan kecuali bagi makmum yang masbuk. Yang dimaksud masbuk disini adalah seseorang yang tidak memiliki waktu untuk membaca surah al-Fatihah baik seluruhnya maupun sebagiannya saja. Hal ini berdasarkan kisah Abi Bakrah RA yang ketika memasuki masjid, imam sudah rukuk. Maka ia pun rukuk sebelum masuk shaf lalu berjalan menuju shaf. Setelah shalat, ia menceritakan keadaannya itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda:

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلا تَعُدْ
“Semoga Allah menambah kedisiplinanmu (dalam ibadah) dan jangan diulangi lagi.” (HR. Bukhari).

Makmum yang masbuk tidak lepas dari dua keadaan:
  • Masbuk yang tidak memiliki waktu sama sekali untuk membaca al-Fatihah, yaitu jika ia mendapati imam telah rukuk atau sedang bersiap rukuk. Maka dalam keadaan ini kewajiban membaca al-Fatihah menjadi gugur.
  • Masbuk yang memiliki sedikit waktu yang hanya cukup untuk membaca sebagian al-Fatihah. Maka kewajibannya adalah membaca al-Fatihah sesuai waktu yang tersedia. Jika imam rukuk maka ia harus rukuk bersamanya meskipun ada beberapa ayat al-Fatihah yang belum terbaca.
Dalam keadaan ini, ia tidak dianjurkan untuk membaca doa iftitah. Jika ia membacanya maka ia harus menambah waktu berdiri untuk membaca al-Fatihah sesuai waktu yang ia pakai dalam membaca doa iftitah. Jika ia masih mendapati rukuk imamnya maka dianggap telah mendapatkan satu rakaat, tapi jika imamnya telah berdiri dari rukuk maka ia telah kehilangan satu rakaat dan harus langsung mengikuti i’tidal imam. Jika ia melakukan rukuk maka batal shalatnya karena telah menambah perbuatan dalam shalat.

Keadaan masbuk ini juga berlaku bagi seseorang yang terlambat bangkit dari sujud sehingga ketika berdiri ia mendapati imamnya telah rukuk atau hampir rukuk, maka ia tidak perlu membaca al-Fatihah atau menyempurnakan bacaannya.

Adapun jika makmum tidak dalam keadaan masbuk tetapi ia belum selesai membaca al-Fatihah ketika imam rukuk maka jika keterlambatannya itu disebabkan sebuah uzur, seperti bacaan imam yang sangat cepat, atau bacaannya yang lambat, maka ia tetap harus melanjutkan bacaan al-Fatihah hingga selesai. Dalam hal ini diberikan keringanan baginya untuk terlambat dari gerakan imam dalam batas maksimal 3 (tiga) rukun besar. Jika telah lebih dari itu maka makmum memiliki dua pilihan, yaitu memisahkan diri dari imam (mufâraqah) atau tetap bersama imam tetapi rakaat pertama dihitung tidak ada sehingga ia harus menambah satu rakaat lagi setelah imam salam.

Catatan:
Bacaan basmalah merupakan ayat pertama dari surah ini sehingga harus dibaca bersamanya secara keras dalam shalat jahriyah dan secara lirih dalam shalat siriyah. Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa: “Nabi SAW menganggap basmalah sebagai ayat.” (HR. Ibnu Khuzaimah).

WALLAHU A’LAM

Sumber : http://ahmadghozali.com

abdkadiralhamid@2016

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "RUKUN SHALAT (BAG. 3): MEMBACA AL-FATIHAH, KAJIAN FIKIH MAZHAB SYAFII"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip