//

Para Nabi Pun Berbeda Pendapat

  • Dua malaikat, malaikat pembagi anugerah dan malaikat petugas siksa sedang berselisih pendapat perihal seorang bromocorah yang telah membunuh 100 jiwa, apakah disiksa atau diampuni dosanya? Mengingat si pembunuh hendak bertaubat namun belum sempat karena keduluan ajal menjemput.

  • Nabi Daud berbeda pendapat dengan Nabi Sulaiman, perihal cara memberi keputusan kepada kedua wanita yang saling memperebutkan anak dan sama-sama mengaku sebagai ibunya.

  • Para sahabat Nabi berbeda pendapat soal perintah Nabi tentang untuk shalat ashar di bani quraidhah. Lain dari itu, Ibnu Umar selalu mengambil hukum-hukum yang berat, sementara Ibnu Abbas banyak mengambil hukum yang ringan. Abu Bakar dan Umar pun pernah berselisih pendapat soal apa sikap yang diambil untuk menanggulangi orang-orang murtad dan para pembangkang.

Jika kita membaca sejarah para salaf shalih kita, kita akan temukan contoh perbedaan pendapat yang banyak sekali di antara mereka.

Kenapa aku tuliskan contoh-contoh di atas? Agar kita tahu bahwa perbedaan pendapat itu sesuatu yang pasti terjadi, ia adalah hal yang dikehendaki Allah Ta'ala untuk makhluknya bahkan di antara manusia-manusia terbaik pilihannya.

Namun yang terpenting dan yang harus kita ketahui adalah, bagaimana cara kita bersikap dengan perbedaan pendapat itu sendiri?

Apakah saat kita berbeda pendapat dengan seseorang dalam suatu masalah, lantas perbedaan itu membuat kita saling benci dan saling bermusuhan? Atau saling olok? Saling tidak menyapa, memutus tali persaudaraan? Atau malah sampai meragukan i'tikad dan keyakinan seseorang tersebut?

Jika kita dalam menyikapi perbedaan pendapat masih seperti itu, maka itu sama sekali bukan manhaj (sistem) yang dikembangkan sahabat Nabi dalam menanggapi perbedaan pendapat. Sama sekali bukan cara yang kita inginkan terlebih untuk mengembalikan kejayaan Islam kembali.

Karena kita melihat banyak sekali perbedaan pendapat di antara sahabat-sahabat Nabi tetapi hati mereka tetap satu, mereka berbeda pendapat namun saling menyayangi, tidak ada di antara mereka yang saling mengkafirkan satu terhadap yang lain, tidak saling benci, tidak saling menuduh salah satunya sebagai orang sesat. Jadi di antara mereka tetap terjalin sikap saling menghormati meskipun berbeda pendapat.

Bahkan meski sampai terjadi pertempuran salah paham sekalipun seperti yang terjadi antara Imam Ali dan Mu'awiyyah! Keduanya tetap saling menghormati dan mengakui kelebihan masing-masing.

Karena jika kita memperhatikan yang terjadi saat ini, di antara permasalahan dasar ummat ini adalah bahwa sebagian orang mempunyai keinginan agar kita tidak saling berbeda pendapat selamanya, agar kita selalu sepakat, tauhidul fikroh (penyatuan pemikiran) dalam setiap hal tanpa kecuali. Dan jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal sekunder, semisal hal furu'iyyah seolah telah terjadi bencana besar, dan mulai mengganggap yang berbeda pendapat dengan telah sesat dan kafir!

Target untuk "tidak berbeda pendapat sama sekali" adalah target yang salah dan hanya mimpi di siang bolong serta tak akan pernah terwujud selamanya, sebab kita adalah manusia yang mempunyai tata cara berpikir masing-masing.

Lantas apa yang dianjurkan? Target yang harus kita tuju adalah menyikapi perbedaan pendapat dengan tetap saling menghormati, dan alangkah baiknya kita menerapkan kaidah Imam Syafi'i soal beda pendapat. Kata beliau, "pendapatku bagiku benar, namun bisa saja salah. Sedang pendapat selainku, bagiku salah, namun bisa saja benar."

Target yang perlu kita gapai dalam menanggapi perbedaan pendapat adalah, "kita saling membantu terhadap hal yang saling kita sepakati, dan saling memaafkan di antara kita terhadap hal yang kita saling berbeda pendapat."

Ironisnya, justru Eropa dan Amerika yang menerapkan prinsip ini dalam keseharian mereka, sementara kita tidak menjalankannya sama sekali di era ini. Padahal mereka saling berbeda dalam bahasa, budaya, keyakinan tetapi mereka bisa saling membantu terhadap hal yang mereka sepakati semisal penggunaan mata uang Euro, atau bisa ke negara manapun di Eropa dengan Schengen Visa. Padahal kita sebenarnya saling sepakat dalam banyak hal, tetapi kita tidak bisa saling bantu.

Terlebih jika di antara kita saling berbeda aliran, apa yang kita lihat? Sangat menyedihkan. Padahal seharusnya selama seseorang itu bersyahadat, sholat menghadap kiblat, maka dia adalah saudara kita, meski dia Sufi, atau Salafi, atau Syiah, atau Ikhwan, atau Jamaah Tabligh atau Liberal; seluruhnya tetap sama, Muslim.

Sekali lagi aku tulis, bahwa di antara penyebab kemurtadan adalah sebab saling cakar saat terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh ummat Islam.

Maka cukup sudah, kita hentikan saling olok dan saling menyesatkan. Dan jika berdiskusi, saling menasehati yang baik. Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk menjalin kembali persaudaraan kita yang terkoyak dan untuk merapatkan barisan kembali.

Dan ada baiknya kita mengingat kembali materi pelajaran PMP atau PPKn soal toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat waktu masih sekolah Dasar dulu. Wallahu a'lam


Sumber : Awy A Imran

abdkadiralhamid@2015

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Para Nabi Pun Berbeda Pendapat"

Silahkan komentar yg positip