//

PANDANGAN ULAMA NUSANTARA : MENSIKAPI FENOMENA YANG KURANG MENYENANGKAN TERHADAP AHLULBAIT

PANDANGAN ULAMA NUSANTARA : MENSIKAPI FENOMENA YANG KURANG MENYENANGKAN TERHADAP AHLULBAIT



AHLUL BAIT DAN PANDANGAN PARA ULAMA’ SUNNI

Fenomena ahli bait Nabi SAW tidak pernah lepas dari islam baik dalam tataran konsep atau ajaran dan keyakinan maupun perkembangan dan pergulatanya. Hal ini sudah pasti oleh karena amanat yang langsung diberikan Alloh dalam Al-Qur’an dan juga pesan-pesan atau wasiat yang sering disampaikan Nabi SAW tentang keberadaan mereka sebagaimana beliau mewasiatkan keberadaan Al-Qur’an dan Hadits. Ada dua riwayat seputar Hadits Tsaqolain yang pertama menyebutkan Alqur’an dan sunnah Nabi SAW, yang kedua menyebutkan Alqur’an dan ‘itroh atau keturunan beliau.

Dalam hemat kami justru dari ayat dan hadits yang memaparkan keutamaan para beliau itulah potensi munculnya polemic yang dipicu oleh rasa kecemburuan. Satu sisi tidak bisa kita elakkan keberadaan orang-orang yang kepentingan politiknya lebih dominan sehingga kemunculan para ahli bait dengan segala keutamaan yang dimilikinya yang notabenenya bisa menjadi magnet tersendiri di hati kaum muslimin dipandang sebagai sebuah ancaman yang serius. Penghujatan pada imam Ali yang pernah diharuskan dilaksanakan di mimbar-mimbar jum’at adalah bagian dari implementasi kecemburuan dan kehawatiran itu. Bahkan kehawatiran yang berlebihan itu telah mendorong untuk melakukan reduksi nubuwwah dan selalu mengedepankan basyariyyah beliau. Hadits inna akromakum ‘inda Allohi atqokum menjadi semacam mascot kelompok mereka yang diramu dengan kultus dan syirik.


Sudah barang tentu perlakuan semacam itu tidak bisa ditolerir oleh sebagian yang lain baik dari pihak yang netral maupun dari kalangan ahli bait sendiri sehingga muncul langkah perlawanan secara ekstrim seperti yang dilakukan kelompok syi’ah dengan semua sektenya.
Sementara itu ada pula yang tetap teguh berpegang pada tuntunan dan ajaran Nabi SAW yang tidak diwarnai dua kepentingan tersebut. Mereka ini memberikan hak-hak ahli bait sepeti yang diajarkan oleh Nabi SAW dan tidak melampaui batas. Mereka menyintai ahli bait oleh karena mereka menyintai kakek mereka Rosululloh SAW. Kecintaan mereka pada keluarga Nabi SAW banyak yang melampui kecintaan mereka pada keluarga bahkan orang tua mereka sendiri. Fenomena seperti ini bisa dilihat pada pengakuan tulus Abu Bakar Asshiddiq RA bahwa islamnya Abbas paman Nabi jauh lebih menggembirakan beliau dari islamnya Abi Quhafah, ayah beliau sendiri. Mungkinkah hal yang demikian kita katakan sesat?


Imam Syafi’i ( 150-204 H) sebagai salah seorang mujtahid dan tokoh sentral ahli sunnah waljama’ah menyatakan dengan lantang: kalau saja menyintai ahli bait Nabi mesti harus disebut sebagai kelompok Rofidhi maka aku nyatakan aku rela disebut demikian demi cintaku pada mereka. Sama sekali tidak bararti beliau membenarkan ajaran kelompok Rofidhoh tapi sebagai ungkapan kecintaan beliau yang mendalam hingga resiko apapun yang harus diterima beliau rela.
Imam Suyuthi ( 911 H) seorang pakar tafsir, hadits dan fiqh dari sunni secara khusus mengumpulkan hadits-hadits yang berisikan tentang keutamaan ahli bait Nabi SAW yang diberi nama ihya’ almayyit bi Fadhoil Ahl al-bait ada enam puluh hadits Nabi beliau rangkum dalam risalah tersebut. Bahkan kecintaan beliau pada keluarga nabi SAW mendorongnya membuat beberapa risalah tentang keselamatan kedua orang tua Nabi SAW dari api neraka sebagaimana Imam Ahmad Zaini Dahlan, mufti Haromain yang menyusun risalah Asna Al-Matholib finajati Abi Tholib.
Dalam risalah-risalah tersebut diterangkan bahwa kedua orang tua Nabi SAW sebagaimana pamannya, Abi Tholib -atas permohonan beliau- dihidupkan kembali dari kubur sehingga berikrar mengucapkan dua kalimah syahadat. Dipaparkan pula dasar-dasar dan alasan kedua beliau baik dari hadits ataupun lainya serta upaya mempertemukan beberapa dalil yang lain yang dipandang berlawanan dengan dalil-dalil yang beliau kemukakan. Kalangan Sunni yang muhibbin menjadikan paparan kedua beliau tentang keselamatan kedua orang tua Nabi SAW bukan saja karena alasan fatroh begitu juga paman beliau sebagai keyakinan mereka. Sementara yang lain getol melakukan serangan balik pada dua imam tersebut.


Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w: 974 H.) seorang ulama yang dikenal sebagai pakar fiqh yang karyanya menjadi rujukan wajib bagi mufti-mufti Syafi’I setelahnya, menjabarkan secara panjang dan luas tentang ahli bait meliputi keutamaan,dan kemulyaan mereka serta keutamaan menyintai dan balasan memusuhi mereka. Dikupasnya semua ayat yang terkait dan hadits-hadits dalam kitabnya yang terkenal Asshowaiq Almuhriqoh. Tidak kurang empat belas ayat yang beliau jadikan dasar keutamaan ahli bait beliau jabarkan dan kemudian secara husus ayat 23 dari surat Assyuro tentang Mawaddah Ahli Qurba dibahas dalam lima bab.
Dengan menukil hadits yang diriwayatkan dari imam Dailamy beliau menyebutkan: ” orang yang tidak mau mengerti akan hak-hak keturunanku, dan hak-hak kaum Anshor serta hak-hak orang arab baginya hanya ada tiga kemungkinan: pertama orang tersebut munafik kedua orang tersebut anak haram atau anak hasil zina ketiga orang tersebut hasil persetubuhan disaat ibunya tidak suci (haidh).
Kalau saja harus kami sebutkan ulama-ulama dan pendapat mereka tentang cinta ahli bait tentu akan sangat panjang dan melelahkan. Silakan yang ingin lebih tahqiq meruju’ kitab-kitab diatas atau pada kitab-kitab dibawah ini:
Assyaroful Muabbad karya Yusuf bin Ismail Annabhani
Uqudul Almas karya Sayyid Alwi bin Thohir Alhaddad
Almasyro’u Arrowi karya:…….
Masyariqul Anwar Assaniyyah karya Imam Ahmad Zaini Dahlan
Addurorun Naqiyyah karya alimam Muhammad Sa’id babshil

 

MENSIKAPI FENOMENA YANG KURANG MENYENANGKAN

Dengan tanpa mengurangai rasa hurmat kepada para ahl bait kita tidak menutup mata adanya sikap sebagian kecil ahl bait yang terkadang menimbulkan keresahan di sebagaian masyarakat. Baik dari perkataan dan pernyataannya ataupun dari sikap dan perilakunya. Fenomena ini sedikit banyak berpengaruh pada bangunan budaya islam pesisir yang mulai bergeser. Kecenderungan umum orang melakukan geralisasi menjadikan posisi ahl bait dalam pandangan masyarakat kita mengalami degradasi. Hal yang demikian terjadi bukan saja pada orang awamnya akan tetapi para tokoh dan kiai mengalami hambatan psikologi di hadapan umat ketika harus menyampaikan apa yang mestinya wajib mereka sampaikan- tentang mawaddah dengan ahl bait.

Upaya mereka melakukan rehabilitasi citra ahl bait di mata umat sering kali menemukan jalan buntu terhalang oleh sikap traumatic umat, bahkan tidak jarang oleh sikap sebagian ahl bait yang lain. Kondisi seperti inilah yang mendorong sebagian kiai kita cenderung pasip tidak banyak mensosilisasikan nilai-nilai yang telah mereka terima dari para guru-gurunya. Sedikitpun mereka tidak benci dengan ahl bait akan tetapi mereka tak mau menjadi korban kesekian kali dari sikap tersebut. Meskipun juga ada tidak menutup mata- dari mereka yang kemudian betul-betul antipati.


Menanggapi hal yang demikian kita mesti melihat realita bahwa habaib adalah sebuah komunitas yang terdiri dari berbagai marga atau suku tentu saja dengan berbagai corak, karakter dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda.Seperti halnya komunitas santri. Idealnya mereka adalah komunitas teladan dalam banyak hal terutama aktifitas keagamaan. Namun relita yang kita saksikan sering kali kita hanya bisa kecewa. Yang demikian tidak lain karena ragam corak yang tercover dalam komunitas santri itu sendiri. Haruskah kita membenci atau antipati pada santri? Tentu tidak! Kita menyadari bahwa mereka yang melakukan hal yang demikian perlu mendapatkan arahan dan bimbingan. Dalam kasus yang lebih makro mengapa masih banyak orang kehilangan barang-barang bawaan mereka di tempat-tempat ibadah? Haruskah kita membenci orang-orang yang di sana? Jawabnyapun sama; tidak! Sekali lagi arahan dan bimbingan memang masih tetap harus kita berikan sebagai seorang yang tidak ingin dianggap kekanak-kanakan.


Sama halnya dengan komunitas habaib. Mereka sebagai ahl bait yang memiliki hubungan darah dengan Fathimah binti Rosulillah SAW adalah sesuatu yang tidak bisa kita nafikan. Meskipun demikian mereka sebagai manusia wajar dan pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Termasuk pemahaman mereka tentang kondisi dan kultur yang ada di masyarakat. Dari mulut ke mulut mereka mendengar langsung kemulyaan dan keagungan datuk-datuk mereka, sebagaimana mereka mendengar apa yang seharusnya mereka diperlakukan menurut ajaran islam yang dibawa Datuk agung mereka SAW. Celakanya pemahaman mereka yang demikian tidak dibarengi dengan pengetahuan yang memadahi. Logis bila kemudian terjadi apa yang terjadi.


Sekedar illustrasi, kita -terutama yang pernah nyantri di jawa timur- tentu melihat dan menyaksikan sikap sebagian putra-putra kiai di masyarakat terlebih di pesantrenya sendiri. Mengapa yang demikian terjadi? Seberapakah kemulyaan ayah mereka dihadapan datuk-datuk para habaib? Lalu bagaimana sikap mereka kalau seandainya mereka itu memiliki ayah dan datuk seperti yang dimiliki oleh para habaib?
Yang lebih penting setelah kita memahami kondisi sosiologi dan psikologi yang melatar belakangi munculnya sikap mereka, lalu bagaimana solusi menghadapi fenomena tersebut?


Pertama: sebagai seorang muslim kita mesti berpegang pada Alqur’an dan hadits nabi SAW. Dalam hal ini petunjuk yang kita dapatkan tentang ahl bait sangat jelas bahwa kita diperintahkan untuk cinta dan hormat pada mereka.
Kedua: bahwa fenomena tersebut hanya terjadi pada sebagian habaib, bahkan sebagian kecil. Habaib yang lain yang masih teguh memegangi ajaran datuknya yang bisa kita tauladani sikap dan akhlaqul karimahnya masih teramat banyak. Jauh lebih banyak. Dan ahl bait yang demikian inilah yang dikehendaki dengan hadits tsaqolain di mana kita diperintahkan selalu berkaca dan berpegang pada para beliau. Sehingga jangan sampai ruh mahabbah pada ahl bait lepas dari hati dan jiwa kita.
Ketiga: sebagai antisipasi agar tidak terjadi rasa benci atau kecewa kita perlu terbuka dan banyak konsultasi dengan mereka yang memahami tentang habaib, sebagaimana kita belajar memahami masyarakat sekeliling kita. Tidak sedikit habaib yang justru menjadi tersinggung bila kita memberikan sesuatu pada mereka.
Lalu bagaimana dengan mereka yang telah dikecewakan ahl bait?
Ada dua sudut pandang dalam kita melihat para yang kedua-duanya merupakan hak mereka atas kita semua. Sudut pandang pertama dengan memposisikan mereka sebagai seorang muslim dan sudut pandang kedua melihat mereka sebagai cucu Rosululloh SAW. Bertolak dari cara pandang mereka sebagai seorang muslim maka kita punya dua cara mensikapi kasus seperti di atas.
Pertama sebagai seorang muslim mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kita. Karenanya kita berhak menuntut mereka untuk mengganti atau melunasi bahkan untuk memperkarakan kasusnya ke pengadilan sekalipun, sekiranya kita tidak bisa mengikhlaskan atau melupakan kasusnya. Dihadapan hukum Alloh kita memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan dalam segala urusan dan permasalahan. Selanjutnya pengadilan berkewajiban melaksanakan hukum atas siapapun sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun demikian tidaklah salah kalau kita toleran dan memberi maaf pada sesama muslim sekalipun yang membuat kesalahan pada kita. Karena yang demikian juga bagian dari ajaran islam yang agung. Dari sini kita menemukan cara yang kedua masih denagan sudut pandang pertama yakni memandang mereka sebagai seorang muslim biasa, yaitu dengan memaafkan mereka dan mengikhlaskan apa yang telah mereka perlakukan pada diri kita.
Adapun cara sudut pandang kedua dengan memposisikan mereka sebagai ahl bait dan cucu Rosululloh SAW maka tidak ada solusi kedua selain memberikan maaf dan senantiasa berharap balasan dan syafaat dari beliau SAW. Semakin dalam kecintaanya pada ahl bait akan semakin mudah baginya melakukan hal yang berat untuk dilakukan orang lain. Sehingga ia merasakan segala sikap dan perilaku dari mereka sebagai seni dan keindahan tersendiri. Seperti halnya dua remaja yang menjalin asmara. Yang ada hanyalah keindahan romantika cinta.
Selanjutnya adalah kewajiban kita untuk menciptakan suasana sehingga mereka dapat menuju yang lebih baik. Bukan membiarkan apalagi ikut mengkondisikan keterpurukan mereka. Hadaniyalloh wa iyyakum ila thoriqil mawaddah

 

ULAMA’ NUSANTARA DENGAN AHL BAIT


Pertanyaan yang muncul bagaimana dengan ulama-ulama dan muslimin di Nusantara?
Pertanyaan ini sengaja kami kemukakan karena ada sementara kesan bahwa mereka yang menyintai habaib karena mereka sama-sama orang arab. Fanatisme kearaban mereka mendorong yang demikian. Bahkan sebagian beranggapan tidak ada tuntunan dalam islam menyintai para habaib karena hanya akan menimbulkan diskriminasi yang nyata-nyata ditolak oleh islam itu sendiri.
Entah karena kepicikan atau memang karena ketidaktahuan; kalau saja mereka mau melihat bahwa berapa banyak orang arab yang memusuhi ahli bait? Dan mau berpikir bukankah kita diperintahkan menyintai dan mengagungkan para sahabat? Menyintai para ulama? Menyintai para sholihin? Bahkan menyintai dan menghormati orang tua kita sendiri? Diskriminasikah itu? Kalaukah dikatakan bahwa semua itu dikarenakan jasa-jasa mereka pada kita pada islam dan pada kaum muslimin. Lebih besar manakah jasa mereka semuanya dengan jasa Rosululloh SAW? Dengan apa kita membalas semua jasa itu sementara beliau telah jauh meninggalkan kita? Ternyata pertanyaan itu langsung dijawab Alloh SWT bahwa cara kita membalas jasa itu dengan mawaddah atau menyintai kerabat beliau. Adakah yang lebih terang dari petunjuk Al-Qur’an?
Namun demikaian tidak ada salahnya kami ulas sedikit tentang sikap ulama nusantara dan masyarakat muslim kita.

KH Muhammad Mahfudl bin Abdulloh Atturmusy

KH Muhammad Mahfudl bin Abdulloh Atturmusy (1285-…..) Seorang ulama pribumi yang kelahiran Termas Pacitan Jawa Timur dan kemudian bermukim di makkah, pengarang kitab Mauhibah Dzawil Fadhl hasyiah atas Minhajil Qowim empat jilid besar dan syarh Alfiyah Suyuthi tentang mushtholah hadits dan kitab-kitab lainya menyisipkan pembahasan tentang ahli bait dalam Mauhibahnya dengan teramat gamblang. Bahwa makna lafadl ‘aal diartikan sebagai semua orang mu’min hanya berlaku pada kalimat do’a. Itupun tidak semuanya karena dalam do’a-do’a tertentu lafadl ‘aal terkadang harus diartikan keluarga nabi, terkadang hnya para ulama sesuai dengan kontek do’a tersebut. Sedangkan dalam selain kalimat do’a seperti pada ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-hadits nabi yang menerangkan tentang keutamaan ahli bait, ‘aal, dzawil qurba dan ‘itroh maka tidak lain yang dimaksud adalah orang-orang mu’min bani Hasyim dan bani Almuttholib keduanya putra Abdi Manaf atau anak dan cucu Rosululloh SAW dari Sayyidah Fathimah Azzahro.
Selanjutnya beliau membawakan ayat dan hadits tentang keutamaan mereka hingga yang luar biasa yang tidak mungkin kami sebutkan disini oleh karena rentan disalah persepsikan oleh pembaca. Sebelum menyudahi pembahasanya beliau sempat menukil syair dari Imam Syafi,I yang teramat agung:

Wahai keluarga Rosululloh ketahuilah! bahwasanya menyintai kalian Adalah kewajiban dari Alloh yang telah diturunkan dalam Al-Qur’an. Cukuplah bagi kalian sebagai suatu keagungan (kenyataan) bahwa sesungguhnya Orang yang tidak mendokan pada kalian disaat sholat tidaklah sah sholat mereka


Kh Sholeh Darat

Dalam tarjamah syarahnya atas kitab Jauharut tauhid tentang ilmu tauhid beliau mengupas panjang tentang ahl bait hal: 17-25 . Adalah menjadi keharusan atas kita semua untuk cinta dan memulyakan para habaib sekalipun kita menyaksikan secara dhohir mereka melakukan maksiat ataupun kemungkaran. Bukan karena kita ridho dengan kemaksiatan yang mereka perbuat, akan tetapi karena kita harus tahu bahwa sebarapapun besar dosa dan kemaksiatan yang mereka lakukan tidaklah akan membatalkan hubungan darah mereka sebagai anak cucu Reosululloh SAW sehingga mereka tetap sebagai ahl bait yang harus kita cinta dan mulyakan. Karena kemulyaan dan kecintaan kita pada mereka lebih disebabkan karena melihat mereka sebagai cucu dari rosululloh SAW.
Sesungguhnya cinta pada ahl bait adalah salah satu tanda akan mendapat kebahagiaan sebagaimana benci dengan mereka menjadi tanda akan mendapatkan kenistaan. Ada banyak hadits yang disebutkan untuk mendasari keteranganya tersebut diantaranya apa yang diriwayatkan imam Al-Baihaqi: tiada sempurna keimaanan kalian sebelum dapat menyintaiku lebih dari menyintai diri kalian sendiri, dan menyintai ‘Itrohku lebih dari menyintai diri mereka sendiri dan begitu dalam menyintai ahliku. Di sampaikan hadits yang secara husus memerintahkan kita untuk mengajarkan putra-putri kita agar cinta paada ahl bait sebagai berikut: ajarilah putra putri kalian tiga hal: menyintai nabimu, menyintai ahl baitku dan mebaca Al_Qur’an
Walaupun mungkin dipandang berlebihan akan tetapi tidak mengapa kami sampaikan di sini etika yang disampaikan beliau: menjadi bagian dari nereka bahwa bagian dari adab kita adalah jangan merasa di gurui

KH Hasyim Asy’ary

Begitu pula pada tokoh pendiri jam’iyyah Nahdhotul Ulama’ hadhrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ary dalam salah satu karyanya, Annurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin beliau menegaskan diantara tanda-tanda orang yang cinta pada rosululooh SAW tentu dia akan menyintai orang-orang yang dicintai beliau. Lebih tegas lagi beliau menyimpulkan setelah menyampaikan bahwa hadits-hadits tentang keutamaan para beliau teramat banyak: bahwa hukum menyintai ahli bait nabi SAW adalah wajib sebagaimana menyintai semua sahabat beliau tanpa terkecuali. Orang yang menyintai para sahabat akan tetapi tidak menyintai ahli bait sia-sialah kecintaan mereka seperti halnya sekelompok orang-orang khowarij. Begitu pula orang yang menyintai ahli bait akan tetapi membenci para sahabat sia-sia pula kecintaan mereka sebagaimana kelompok Rowafidh.
Beliau memandang cinta pada keluarga nabi sama halnya dengan cinta pada para sahabat. Keduanya menjadi satu kesatuan ajaran yang tidak bisa dipisahkan.
Keyakinan dan faham yang demikian tentang kecintaan pada ahli bait ini secara turun temurun diwariskan pada para santri-santri beliau dari generasi ke generasi hingga sekarang. Semangat kecintaan dan memulyakan pada ahlibait bisa dilihat pada para masyayikh dan para kiai di Nusantara hususnya yang ada di wilayah pantura. Memulyakan ahli bait yang kemudian sering dipanggil dengan sebutan habaib sebagai bentuk jama’ dari kata habib telah menjadi kultur yang mengakar di kalangan para kiai hususnya para pengasuh pesantren sehingga menjadi warna has sebagai budaya islam pesisir.
Tata nilai yang seperti itu pulalah yang kami peroleh dari para guru kami Seperti Shohibul Fadhilah Syaikhina KH Maimun Zubair semoga Alloh memberikan umur panjang dan kesehatan- sebagaimana bisa dilihat pada risalah-risalah beliau hususnya pada kata pengantar kitab Yasin Fadhilah yang berisikan do’a husus pada salah seorang ahl bait Nabi, Sayyid Muhammad Al-maliki yang menjadi bacaan pokok santri-santri Sarang dan Maslakut Tanassuk Al-Makki Watakmilatuh. Juga dari orang tua kami Almaghfurlahu Kiai Anshor Abdul Lathif sebagaimana yang dapat kami saksikan dalam keseharian beliau. Terlebih dari guru kami dan pembimbing kami Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya adamaLLohu izzahu wa athola umrohu fi shihhatin wa’afiyah. Nafa’anallohu bihim wabiulumihim fiddini waddunya wal akhiroh waja’alana wadzurriyyatina waman intasaba ilaina min ahlil ma’rifah wal mahabbah liahli baiti khoiril bariyyah. Amin.

Ahl bait dalam pandangan modernis



Prof Dr HAMKA

Tak ada salahnya disini kami tuliskan secara utuh nukilan A Shihabuddin dalam bukunya Telaah Kritis atas Doktrin faham Salafi / Wahabi dari majalah panji masyarakat no: 169 tahun ke XVII 15 pebruary 1975 M. tentang jawaban Prof Dr HAMKA, salah seorang pakar sejarah bangsa Indonesia atas pertanyaan seputar keberadaan ahl bait : “Rasulullah SAW mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (siti) Fatimah yang memberikan beliau SAW. Dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Tholib. Dua anak ini bernama Hasan dan Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan kedua ankku ini menjadi Sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di surga”.
Dan sebagian negeri lainnya memanggil turunan Hasan dan Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesara aceh telah banyak keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung tanah melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran islam di seluruh nusantara ini. Diantaranya penyebar islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar islam ke Mindanau dan Sulu. Yang pernah menjadi raja di Aceh adalah bangsa Sayyid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qodri. Di Siak oleh keluarga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung Malaysia Sayyid putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama’. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas,Assegaf, Alkaf, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abu Bakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya….. dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah dari keturunan Husain dari Hadramaut (Yaman selatan) ada juga keturunan Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan Syarif-syarif Mekkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Bagdad, syam dan lain-lain mereka adalah NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umumnya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyid Ali bin Avbi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az-zahra ra.
Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia, pihak Al-Irsyad yang menentang dominasi kaum Ba’alwi (Alawiyyun) menganjurkan agar yang bukan keturunan Hasan dan Husain memakai juga title Sayyid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, dengan pimpinan A.R.Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan ” Al-Akh” artinya saudara.
Maka baik Habib Sholeh di Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasul SAW.Husain bin Ali bin Abi Thalib.”.
Banyak pelajaran kita dapatkan dari uraian jawaban HAMKA ini. Sebenarnya pertanyaan itu sendiri ditujukan pada mentri agama saat itu, HA Mukti Ali dari salah seorang warga Indonesia yang berada di Belanda yang secara husus menanyakan kebenaran Habib Ali Kwitang dan Habib Sholeh Tanggul sebagai keterunan Rosululloh SAW. sebagaimana bisa kita pahami dari alinea terahir. Namun oleh karena HAMKA dipandang lebih menguasai tentang hal ini maka oleh mentri agama beliau diminta untuk memberikan jawaban yang kemudian dipublikasikan lewat majalah tersebut.

Syekh Abdul Aziz bin Abdulloh Bin Baz

Masih dari sumber yang sama jawaban yang senada juga diberikan oleh mufti resmi kerajaan Saudi Arabia, salah seorang ulama wahabi Syekh Abdul Aziz bin Abdulloh Bin Baz yang disiarkan lewat majalah AL-MADINAH halaman 9 tanggal 24 Oktober 1982 M. Lebih jauh beliau menyampaikan bahwa: menghormati mereka (Ahl Bait), mengakui keutamaan mereka dan memberi maaf atas kesalahan mereka terhadap irang lain dan tidak mempersoalkan kekliryan mereka yang tidak menyentuh soal agama, semuanya itu adalah kebajikan. Dalam sebuah hadits : Rosululloh SAW mewanti-wanti: Kalian kuingatkan kepada Alloh akan ahlulbaitku… kalian kuingatkan kepada Alloh akan ahlulbaitku. Jadi, berbuat baik pada mereka, memaafkan kekliruan mereka yang bersifat pribadi , menghargai mereka sesuai dengan derajatnya, dan membantu mereka pada saat-saat membutuhkan, semuanya itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan kepada mereka.
Dua ulama dari kalangan ‘Modernis’ ini memberikan pencerahan pada kita tentang ahl bait dari dua sudut yang berbeda. Bila HAMKA lebih menitikberatkan pada sudut pandang sejarah sebagaimana kepiawian beliau maka Bin Baz lebih pada sudut pandang nash yang beliau ambil dari riwayat sebuah hadits. Keduanya mengakui keberadaan, dan kemulyaan ahl bait. Masih adakah keraguan? Lalu dari kelompok manakah anda?

MUNGKINKAH KITA MEMPERINGATKAN MEREKA?


Masyayikh kita berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini; satu pihak menjadikan keharusan sebagaimana amanat dalam surat Al-’Ashr untuk selalu tawashi bilhaq sesama orang mukmin, termasuk dalam bagiannya adalah ahl bait. Justru kalau kita benar-benar cinta pada mereka tidak mungkin rela membiarkan mereka yang kita cintai melakukan hal-hal yang merugikan serta membahayakan mereka. Sedapat mungkin kita lakukan antisipasi dini dengan memberikan arahan dan nasehat pada mereka.
Sikap ini adalah yang dipegangi oleh para masyayikh dari kalangan sadah yang selalu berharap pada para muhibbin hususnya para kiai untuk tidak segan-segan memberikan nasehat dan arahan serta bimbingan pada mereka. Justru dari masyayikh sadah ini sangat kecewa bila mereka dibiarkan tidak diberikan arahan dan bimbingan. Para beliau tidak menutup mata dari realita yang demikian baik dari keluhan-keluahan yang disampaikan dari para muhibbin ataupu lainya. Solusipun beliau sampaikan dari cara penolakan sampai memberikan arahan. Bisa dimaklumi bila kemudian mereka sangat kecewa kalau kemudian para beliau dikeluhi ini dan itu sementara saran beliau tidak dilaksanakan.
Ini berarti sadar atau tidak sikap kita yang kurang tegas terkadang ikut memberikan kontribusi yang tidak kecil dalam pembentukan kondisi yang tidak kita inginkan. kalau memang tidak berani bersikap tegas dengan mereka seperti yang beliau sarankan mestinya segala resiko yang muncul harus kita terima tanpa harus dikeluhkan pada habaib yang lain terlebih pada orang-orang yang tidak memahami habaib. Memang persoalanya tidaklah semudah itu di lapangan. Akan tetapi bukan berarti tidak mungkin bagi kita untuk selalu belajar dan berlatih.
Sebagian lagi mengambil sikap sukut tidak berani memberikan nasehat apalagi peringatan pada mereka. Sikap ini timbul dari dua kemungkinan satu karena ketidak beranian melakukannya atau karena kehawatiran bila sampai mengecewakan dan menyakitkan mereka. Sebagian lagi mungkin karena terbawa tuntunan sebuah hadits yang melarang mengajar memberi nasehat dan sebagainya pada para habaib.
Sikap kedua ini menjadi pegangan kebanyakan para muhibbin dan para kiai. Bukan berarti mereka rela dengan perilaku dan sikap yang tidak sesuai. Akan tetapi oleh karena mereka berpandangan akan lebih tepat bila mereka diarahkan dan peringatkan oleh habaib sendiri. Sikap itu sedikit banyak terbentuk dari pola saat di pesantren dan menyaksikan perilaku para pengasuh yang terkadang khowariq dan putra-putri mereka yang sebagian nyleneh mereka terbiasa menyaksikan yang demikian dengan sikap taslim seolah semua itu diluar kapasitas dan wilayah mereka. Beliau-beliau ada di luar wilayah pengetahuan mereka. Dan beliau-beliau pula nanti yang akan memainkan remot untuk putra-putri mereka. Sikap dan pola yang demikian itulah yang dibawa dalam menyikapi apa yang tidak mereka pahami dari para ahl bait.
Persoalan ini sedikit kami ulas panjang oleh karena banyak persoalan yang muncul kemudian dari persoalan tersebut. 



2014@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PANDANGAN ULAMA NUSANTARA : MENSIKAPI FENOMENA YANG KURANG MENYENANGKAN TERHADAP AHLULBAIT"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip