//

Kebiasaan Syekh Abu Bakar bin Salim



As-Sayyid Al-Imam Al-Quthb al-Fakhrul Wujud al-Habib Syekh Abu Bakar bin Salim
(Wali besar hadramout sepanjang masa)
Berkata as-Sayyid al-Imam al-Quthb al-Fakhrul Wujud al-Habib Syekh Abu Bakar bin Salim Ra: “Nadziriy wa nadziro nadziriy dakholal jannah.” (Orang yang melihatku dan orang yang melihat orang yang pernah melihatku akan masuk Syurga)


Shohibul Maulid Simthud Durror as-Sayyid al-Imam al-Qutb al-Habib ‘Ali al-Habsyi Ra: “Di zaman Syekh Abu Bakar bin Salim Ra hidup, Qolam di Lauhil Mahfudz tidak bergerak mencatat keburukan ahli zaman.”

Syekh Abu Bakar bin Salim di lahirkan pada tanggal 13 Jumadil Akhir 919 H di kota Tarim, Yaman. Ia tumbuh dewasa menjadi seorang tokoh sufi yang masyhur sekaligus seorang ‘alim dan mengamalkan ilmunya. Ayahandanya, al-Habib Salim bin ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman as-Seggaf. Sedangkan ibunya adalah Syarifah Thalhah binti Aqil bin Ahmad bin Abu Bakar as-Sakran bin ‘Abdurrahman as-Seggaf.

Kegembiraan Syekh Abu Bakar bin Salim dalam menekuni ilmu pengetahuan di buktikannya dengan menghatamkan Ihya’ Ulumuddin-nya Hujjatul Islam al-Ghazali sebanyak 40kali dan menghatamkan kitab Fiqh Syafi’iyah, al-Minhaj karya Imam Nawawi sebanyak 3kali. Dan di antara kebiasaannya adalah memberikan ceramah kepada masyarakat setelah Sholat Jum’at.

Di antara ibadah dan riyadlohnya, pernah dalam waktu yang cukup lama ia berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau, juga selama 90 hari ia berpuasa dan sholat malam di lembah Yabhur dan selama 40 tahun beliau sholat Shubuh di Masjid Baa Isa di kota Lisk dengan wudlu’ Isya’. Setiap malam ia berziarah ke tanah pekuburan Tarim dan berkeliling untuk melakukan sholat di berbagai Masjid di Tarim di akhiri dengan Sholat Shubub berjamaah di Masjid Baa Isa. Sepanjang hidupnya ia berziarah ke makam Nabiyullah Hud As sebanyak 40 kali. Setiap malam selama 40 tahun ia berjalan dari Lisk menuju Tarim melakukan Sholat di setia masjid di Tarim, mengusung air untuk mengisi tempat wudlu’, tempat minum bagi para peziarah dan kolam tempat minum hewan. Dan sampai akhir hayatnya Sang Syekh tidak pernah meninggalkan Shalat Witir dan Dhuha.

Beliau di kenal sebagai seorang yang tawadlu’, tidak ada seorangpun yang pernah melihatnya duduk bersandar atau bersila. Syekh
‘Abdurrahman bin Ahmad Ba Wazir, seorang yang faqih berkata: “Selama 15 tahun sebelum wafatnya di dalam berbagai majelisnya baik bersama kaum khusus atau awam, Syekh Abu Bakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk kecuali dalam posisi duduknya orang yang sedang Tasyahud akhir.”

Berkata as-Sayyid al-Imam al-Fakhrul Wujud al-Habib Syekh Abu Bakar bin Salim Ra: “Seandainya aku tidak malu dengan Rosul Allah SAW niscaya aku padamkan api neraka dengan kelingkingku saja.”

Syair Syekh Umar Ba Makhramah seorang wali besar untuk Syekh Abu Bakar bin Salim Ra: “Wahai emas sejati dengan Pandangan-Nya Allah
memeliharamu. Semua lembah yang luas menjadi kecil di banding lembahmu.”


Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah, tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata, “Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”. Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana. Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.

Berbeda dengan para wali di Tarim yang hampir semuanya menutupi hal (keadaan) mereka, Syeikh Abubakar bin Salim mendapatkan perintah agar ia meng-izhar-kan (menampakkan) kewaliannya. Pada awalnya ia sendiri merasa enggan dan ragu, sampai akhirnya hal ini sampai kepada gurunya, Al-Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab. Ia manyatakan, “Tidaklah maqam-nya Syeikh Abubakar bin Salim akan berkurang dengan nampaknya kewalian yang dimilikinya, karena kalimat Bismillah telah diletakkan di setiap perkataannya. Dan sungguh tidak berkurang sama sekali kadar maqam kewalian dikarenakan masyhurnya beliau, terkecuali seperti berkurangnya satu biji dalam makanan”. Tatkala perkataan guru beliau ini disampaikan kepadanya, Syeikh Abubakar bin Salim melakukan sujud syukur kepada Allah SWT dan berkata, “Aku merasa cukup dengan isyarat pengukuhan ini, sebagai lambang kemegahan dan keagungan yang diberikan Allah SWT”.
Setelah kejadian itu, ia berangkat dari Inat menuju Tarim untuk berziarah dan berjumpa dengan guru beliau tersebut, maka setelah sampai gurunya bertanya, “Bagaimanakah bentuk isyarat yang telah engkau terima ?”. Ia menjawab, “Sesungguhnya telah datang kepadaku serombongan pemuka kaum Ba’alawi dan bersama mereka ada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, mereka semuanya memerintahkan kepadaku agar aku mengizharkan diriku. Bagaimanakah pandangan anda sendiri ?. Apakah saya dilarang ?. Sesungguhnya diriku sendiri kurang menyukai kemasyhuran ?”. Setelah mendengar perkataan beliau, gurunya diam sesaat dan setelah itu ia berbincang dengan Syeikh Abubakar bin Salim dengan perkataan yang tidak dipahami oleh orang yang hadir kala itu, kemudian gurunya berwasiat kepada Syeikh Abubakar dengan beberapa wasiat dan memerintahkan beliau untuk pulang dan menetap di kota Inat. Pulanglah Sang Syeikh ke Kota Inat, dan disanalah ia kemudian termasyhur. Namanya yang harum semerbak dikenal di seluruh penjuru negeri. Cahaya ilmu dan kemuliaannya berkemilau menerangi orang-orang yang berjalan di jalan Allah SWT. Ia hidupkan kota Inat dengan ilmu. Manusia datang dari berbagai pelosok daerah guna menuntut ilmu darinya sehingga Inat menjadi kota yang ramai oleh pencinta ilmu. Murid-murid beliau datang dari berbagai kota di Yaman dan mancanegara, antara lain Syam, India, Mesir dan berbagai negara lainnya. Diantara beberapa muridnya yang terkenal adalah Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi, Shohibus Syiib, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Jufri, Habib Muhammad bin Alwi, Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid Al-Hasany, Syeikh Hasan Basyaib serta beberapa murid lainnya.

Demi kepentingan pendidikan dan pengembangan dakwah, ia mendirikan sebuah masjid dan membeli tanah pekuburan yang luas. Al-Mualim Ahmad bin Abdurrahman Bawazir berkata, “Ada satu kisah yang diriwayatkan dari Al-Mualim Abdurrahman bin Muhammad Bawazir yang ia terima dari beberapa orang arifin, Beliau berkata, “Sesungguhnya tatkala Sayyidina Syeikh Abubakar bin Salim mendirikan masjidnya yang masyhur di Kota Inat, beliau berkata kepada orang yang sedang membangunnya dikala itu yaitu Ibnu Ali sambil menunjuk satu dinding yang baru didirikan, “Dinding yang didirikan ini tidak akan dimakmurkan oleh orang-orang, kami menginginkannya agar sedikit maju”. Ibnu Ali menjawab, “Ya Sayyidi yang engkau inginkan adalah kemaslahatan tetapi bagaimanakah kami akan merubahnya lagi, karena dinding ini sudah terlanjur didirikan di tempat ini”. Syeikh Abubakar yang saat itu sedang memegang tongkat memukul dinding tersebut, maka dengan izin Allah SWT dinding tersebut berpindah tempat dari tempatnya semula sampai pada tempat yang diinginkan olehnya”.
Penduduk Inat sangat mencintai Syeikh Abubakar, hal ini antara lain dikarenakan keluhuran budi pekerti yang dimilikinya. Beliau merupakan seorang dermawan yang suka menjamu tamu. Jika tamu yang berkunjung banyak, maka ia memotong satu atau dua ekor onta untuk jamuannya. Karena sambutan yang hangat ini, maka semakin banyak orang yang datang mengunjunginya. Dalam menjamu dan memenuhi kebutuhan para tamunya, ia tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri. Mereka datang terhormat dan pulang pun dengan terhormat. Dalam kesehariannya, ia mengeluarkan sedekah sebagaimana orang yang tidak takut jatuh miskin, setiap hari ia membagikan seribu potong roti kepada fakir miskin.
Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat tawadhu, tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya duduk bersandar ataupun bersila. Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Ba Wazir, seorang yang faqih, berkata, “Selama 15 tahun sebelum wafatnya, di dalam berbagai majlisnya, baik bersama kaum khusus ataupun awam, Syeikh Abubakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk, kecuali dalam posisi duduknya orang yang sedang tasyahud akhir”.
Semasa hidupnya beliau selalu membaca wirid-wirid tarekat, dan secara pribadi, ia mempunyai beberapa wirid dan selawat. Antara lain sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut Hizb al-Hamd wa al-Majd yang ia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

2014@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebiasaan Syekh Abu Bakar bin Salim"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip