//

Polemik dalam Kafaah Syarifah



Pada prinsipnya masalah keturunan Nabi Saw dan masalah sayyid, syarifah ini, sudah berada dalam perbincangan sejak berabad-abad silam. Hal itu disebabkan adanya unsur-unsur kemuliaan dari Allah dan Rasul-Nya yang menyertainya. Tinggalah kita sekarang, apa yang bisa kita petik dari segala macam bentuk polemik sampai konflik pendapat yang hadir ditengah kita ini. Pada masa kini tidak ada yang rumit semua sudah tahu dan menjalankannya menuruti kaidah syari’at yang benar, dalam hal ini peran aktif kita haruslah maksimal. 

Masalah kafa’ah atau kesetaraan didalam perkawinan tidak di monopoli oleh kaum Alawiyyin semata. Syarat hukum kafa’ah itu sendiri telah diatur didalam hukum perkawinan Islam. Bahkan orang-orang Islam yang bukan dari kalangan Ba’alawi pun menggunakan hak kafa’ah itu menurut cara mereka masing-masing. Dan orang-orang yang bukan beragama Islampun didalam soal perkawinan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip kesetaraan (kafa’ah) itu, dengan cara-cara serta alasan-alasan mereka sendiri pula.

Menjaga dan melindungi serta memelihara kelangsungan “nasab” – keturunan yang baik, tidaklah serta merta identik dengan sebuah kesombongan dan kecongkakan. Tidak juga merusak syari’at Islam yang mulia, tidak identik pula dengan diskriminasi rasial. Ia bahkan merupakan sebuah kewajiban orang beriman, bukankah urat keturunan itu sangat penting? Mungkinkah hak asasi seseorang itu harus kita batasi?, kemudian kita perjuangkan kepentingan kita dengan mangatas namakan hak asasi?. Alangkah zalimnya tindakan dan perbuatan seperti itu. Apakah orang yang menolak sebuah permintaan, atau ia enggan memenuhi keinginan orang lain harus diartikan pelanggaran atas hak asasi orang tersebut?, lalu dimanakah hak asasi kita sendiri?.

Haruslah diingat bahwa persamaan manusia dihadapan Allah, adalah hal yang jelas dan pasti. Dan bahwa kemuliaan seseorang dimata Allah adalah karena taqwanya kepada Allah, itupun sudah pasti dan telah diketahui secara luas dan umum.
Namun itu tidak berarti karunia Allah sekaligus sebagai amanah kepada seseorang berupa pangkat, harta kekayaan, kekuasaan (Raja atau Presiden), kebangsawanan atau keturunan (Nasab) tidak lantas dinafikan begitu saja. Toh semuanya itu adalah pemberiaan Allah.
Semua orang tahu bahwa asal usul manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa a.s. Tetapi tidak semua orang tahu bahwa dari anak-anak keturunan Nabi Adam a.s. itu ada yang baik dan kemudian menjadi Nabi-Nabi seperti Nabi Syth a.s. Tetapi diantaranya pula ada keturunan orang-orang jahat yang menjadi pembunuh.

Pertanyaannya apakah sama martabat anak-anak keturunan Nabi Adam a.s. itu?, tentu tidak bukan?

Begitu pula orang yang berilmu dan orang yang bodoh tentu berbeda. Orang yang kaya pasti berbeda pula martabatnya dengan orang yang miskin. Oleh karenanya kelebihan seseorang dengan orang yang lain itu tidaklah harus disalah gunakan sebab didalam perbedaan itu terdapat amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada yang memberi yakni Allah SWT. Begitu juga seorang Raja atau Presiden ia sudah pasti berbeda dengan rakyatnya. Semua itu ada, karena karunia dan ketetapan Allah jua.

Jadi firman Allah dan sabda Nabi Saw, mengenai tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non Arab (Ajam), atau yang berkulit merah atau hitam. Dihadapan Allah kemuliaan itu diukur dengan parameter ketaqwaan kepada Allah. Ini artinya memang ada perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain, dan itu pemberian dari Allah juga. Namun tidak ada perbedaan didalam fungsi kehambaan mereka kepada Allah.

Mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing.
Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain  yang bukan ahlul bait. 
Sebab para anggota ahlulbait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. 
Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. 
Sebagaimana ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An’am ayat 87, berbunyi:


ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم
“(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka…”

Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah:
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
“Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun”.

Keutamaan Keturunan Nabi bukan Kesombongan Nasab
Sebenarnya berbicara tentang keutamaan keturunannabi banyak nash atau dalil-dalil yg menguatkan. Ini merupakan anugerah besar yang diberikan Allah swt kepada kekasihnya Rasulullah dan keturunannnya, Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya:

ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل

“Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan”.
Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad saw’.
Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.

Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.

Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.
Sampai saat ini belum pernah ada keluarga Ba’alawi yang dalam hal menikahkan anak-anaknya dengan cara yang melawan atau bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku, namun tidak pula meninggalkan prinsip dan aturan-aturan dalam masalah nasab. Selama ini berjalan lancar, antara petugas K.U.A. dan Habaib terjalin sangat baik dan saling pengertian.
Kafa’ah dalam perkawinan dilingkungan keluarga Alawiyyin memang harus dijaga ketat dan dipelihara karena siapakah yang akan menjaga dan melestarikan kelangsungan dzurriyat – keturunan Nabi suci Muhammad Saw? Kalau anda ingin tahu bacalah buku Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw. oleh K.H. Abdullah bin Nuh khususnya halaman 36-42.(pasti anda punya)
Sesungguhnya setiap orang mempunyai hak kafa’ah, terserah kepadanya apakah ia akan mempergunakannya atau tidak. Pada umumnya orang Tionghoa (Cina) misalnya, dalam masalah perkawinan, mereka sangat ketat menjaga garis keturunan mereka dengan baik, dan itu adalah hak asasi mereka. Keturunan Raja-raja di Jawa juga sangat ketat pula menjaga silsilah keturunannya, terutama didalam hal perkawinan, mereka memang juga berhak untuk itu. Keturunan bangsawan di Sulawesi, di Sumatera, di Malaysia, sampai pada Raja-raja di Benua Eropa, Lord di Inggris, dan Baron di Prerancis semuanya sangat hati-hati dalam urusan perkawinan, dan itu adalah hak mereka.

Dan bahwa masalah sebenarnya tergantung kepada kesediaan dan kerelaan pada pihak yang dipinang (dilamar) mau menerimanya atau tidak. Tetapi pada umumnya yang dijaga ketat adalah pada pihak puteri (wanitanya), sebab apabila kaum puterinya menikah keluar (bukan kufu) niscaya anak-anaknya nanti telah terputus hubungan nasabnya dengan nasab keluarga ibunya, karena anak-anak itu akan bernasab menurut garis keturunan ayahnya.

Didalam Islam, orang yang hendak menikah (kawin) itu dapat memilih dari 4 (empat) kriteria utama :

1. Keimanannya (Agama)  
2. Keturunannya (Nasabnya)  
3. Kekayaannya  
4. Kecantikannya
 

Pada umumnya kalangan Alawiyyin ( Ba’alawi) mengutamakan Nasab. Sebab dengan Nasab ahlul bait itu telah dipastikan Agamanya, dan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan nasab Rasulullah. Sementara urusan Kekayaan maupun kecantikan bukanlah yang primer (utama). Itulah sebabnya pula, maka calon penganten pria diteliti dengan benar dan cermat silsilah mereka.
Artinya silsilah itu harus dapat dijamin kebenaran dan keabsahannya. Yang demikian itu adalah hak mereka, dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Keunggulan lainnya bahwa nasab ahlul bait yang benar, sudah pasti akan tersusun dan tersambung dengan jelas, serta tetap berada pada jalur Agama Islam. Oleh karena itu kafa’ah dalam keluarga Ba’alawi dipastikan silsilah Agamanya tidak kabur, bahkan terang benderang.
Namun kenyataan berkata lain, ada segelintir orang tua dari kalangan keturunan Ba’alawi itu, yang dengan suka rela melepaskan hak dirinya dalam urusan perkawinan sebagaimana mestinya, masih saja menikahkan anak perempuan mereka dengan lelaki yg tidak sekufu dengannya (bukan sayyid), itu adalah hak dan tanggung jawab mereka masing-masing.
Yang ada dikalangan Alwiyyin itu adalah mendidik anak-anak sejak dini agar mereka mengetahui dan mengenal apa itu sayyid, dan siapa itu syarifah, apa itu kufu atau kafa’ah dalam perkawinan. Penyimpangan itu terjadi dikalangan keluarga Ba’alawi antara lain : 
 
1. Orang tua bergaya moderen (over moderat)  
2. Tidak mengetahui makna ahlul bait
3. Kurang bergaul dalam lingkungan Habaib.  
4. Terlanjur menikahkan puterinya dengan selain sayyid.  
5. Mendapat informasi dari sumber yang membenci Ba’alawi. 6. Ingin mendapat pembenaran atas tindakannya yang salah. 7. Keakuannya berlebihan (egoisme).  
8. Merasa malu mencarikan jodoh untuk puterinya.  
9. Dan lain-lain alasan.

Memang adalah hak individu jika ada orang  hendak menikahkan puterinya seorang syarifah dengan kerelaannya sendiri kepada seorang Ajam atau seorang Majusi sekalipun. Tetapi adalah merupakan sebuah kesalahan yang sangat besar apabila kemudian lalu memproklamirkan semua syarifah boleh berbuat seperti itu.  

Berbeda pandangan mengenai kafa’ah dan pembelotan yang terjadi pada sekelompok kecil masyarakat Ba’alawi yakni kaum Sayyid dan Syarifah yang sedikit jumlahnya itu, tidak harus berarti mewakili seluruh anggota keluarga kalangan Ba’alawi. Soal hukum Agama semua orang tahu, kita patut memberi nasihat tetapi kita tidak berwewenang untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain.

Masalah lain yang diangkat adalah kafa’ah menurut para Imam Madzhab. Sebenarnya semua orangpun sudah memahami soal itu. Kita sepatutnya menghormati mereka, karena ketentuan-ketentuan yang mereka tetapkan itu sudah menjadi kesepakatan ummat Islam. Didalam kalangan Alawiyyin mereka lebih faham lagi, serta mengambil dan mengikuti yang paling sesuai dan dekat dengan Madzhab dan tariqah mereka sendiri .
Meskipun begitu, mereka kalangan Ba’alawi lebih banyak bersikap bijaksana dengan menyerahkan keputusan dalam masalah perkawinan itu kepada setiap person (hak individu) untuk memutuskan sendiri. Apabila kemudian perkawinan itu tidak terjadi sebagaimana mestinya, maka mereka tidak harus disalahkan, apabila enggan menghadiri upacara akad nikahnya. Alasannya sederhana saja yaitu tidak mau menjadi saksi pada upacara akad nikah yang berlangsung antara seorang syarifah dengan pria bukan sayyid. Hak mereka seperti itu haruslah dihargai pula.
Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa masalah kafa’ah ada dimana-mana karena ia adalah hak semua orang. 

Tetapi kalau kemudian masalah syarifah yang menjadi sorotan, bahkan yang paling banyak mendapat kritikan tajam serta cenderung tidak masuk di akal, maka hal seperti itu harus pula dicari jawabannya. Ternyata menyoroti syarifah identik dengan menyoroti nasab serta dzurriyat Rasulullah Saw.
Mengapa demikian, ternyata disana tersimpan kemuliaannya tersendiri, dan pada diri syarifah itulah lambang kemuliaan itu.
Hal ini hampir-hampir sulit dipahami, sehingga banyak kaum sayyid yang awam tidak mengerti kemuliaan miliknya ini, dan karena itulah ia kawini wanita diluar kalangannya sendiri. Salah satu kemuliaan yang tidak dapat ditukar dengan apapun juga ialah predikat aal Muhammad. Bayangkan anda di do’akan oleh seluruh kaum Muslimin dan Muslimat sejagad raya paling sedikit didalam shalat mereka lima kali sehari semalam.
 

Keistimewaan ini tidak diberikan Allah kepada selain dzurriyat Rasul saw. Tetapi manakala sang syarifah itu dilepas dan menikah dengan pria bukan sayyid, maka setiap anak yang dilahirkannya menjadi terputus hubungan nasab dan keturunannya dari jalur ibunya karena anak itu mengikuti nasab ayahnya yang bukan sayyid itu. Sekalipun anda berhujjah dengan dalil dan alasan apapun niscaya anda, bahkan sekalian manusia tidak akan mampu merubah apalagi mengungguli ketetapan Allah dan Rasul-Nya.


Analisis dan tinjauan pendapat Madzhab-Madzhab. Sesungguhnya perbedaan pendapat diantara mereka itu bukanlah hal yang mengganggu. Karena ketetapan yang mereka buat telah diakui dan diterima oleh seluruh ummat Islam di dunia. Disamping itu kredibilitas, keikhlasan, serta keluasan ilmu mereka menjadikan kita patut berterima kasih kepada mereka, celakalah orang yang belajar dari ilmu mereka kemudian mencela mereka.
Soal ijab qabul dengan segala tata caranya juga terserah kepada bersangkutan, yang terpenting dapat dibenarkan secara syari’at Islam. Barang siapa yang melanggar syari’at Islam, dia pula yang bertanggung jawab kepada Allah dan Rasul-Nya, bukankah begitu?.

Dalam kalangan Ba’alawi pada umumnya melakukan tata cara aqad nikah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika menikahkan Fathimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib.
Mengapa masih ada orang menilai bahwa penganut kafa’ah dalam nasab tidak mempunyai nash Al-Qur’an dan Hadits atau dalil ilmiah, melainkan kelaziman diseluruh tempat dan zaman.
Akan sanggupkah anda mempertanggung jawabkan statemen diatas tadi kepada Allah dan Rasul-Nya?. Pernyataan Orang  ini serta merta menunjukkan ketidak mampuan dan kekuranganmu belaka. Jangan sampai membentur tembok-tembok hukum syari’at, tidaklah perlu berbuat sesuatu yang bersifat sensasional. Hendaknya kita mempunyai referensi yang lengkap, jangan hanya baca buku-buku berkualitas rendahan, dan dari sumber-sumber yang kabur. Satu hal yang harus kita ingat, janganlah menyoroti masalah yang sensitif dan rawan kalau ilmu kita sangat terbatas. Sebab diatas langit ada langit yang lain. Sebenarnya buku “AHLUL BAIT DAN KAFA’AH” oleh  S. UMAR MUHDOR SYAHAB sangat bermanfaat, sajiannya cukup ilmiah. Hanya saja kita jangan terburu-buru memusuhinya, bahkan ditanggapi secara tidak bijak. Seharusnya kita belajar memahami dan menjabarkannya dengan baik. 


Nasab Rasulullah dan kafaah syarifah adalah dua hal yang saling terkait dan tak terpisahkan, dan juga menjadi persoalan yg mudah disisipi FITNAH, krn ketidaktahuan atau tdk mau tahu, kebodohan atau disalah tafsirkan.......yg membanggakan NASAB hanyalah Oknum, tapi Kemuliaan Nasab Rasulullah dan keturunannya merupakan tuntunan Syar'i dan dimuliakan Allah dan Rasulnya......Dengan ikut menjaga kesucian Nasab, semoga itu menjadi asbab kita dengan Rasulullah Almustafa di Akherat kelak............
 
Rasulullah telah bersabda;
‘Tidaklah seseorang yang membenci atau merasa iri kepada kami, melainkan orang itu akan diusir dari Al-Haudh (telaga Nabi Saw) pada Hari Kiamat dengan cambuk dari api”. (Diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Ausath-nya).

Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin, beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.

Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:


النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض

“Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)”.


Abu Abdillah Ja’far al-Shaddiq, mengatakan,
‘Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu’) bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya’.

Berikut dalil dari kitab BUGHYATUL MUSTARSYIDIN
karya Al-Habib Al-Allamah Abdurrahman al-Masyhur :

)مسألة : ( شريفة علوية خطبها غير شريف فلا أرى جواز النكاح وإن رضيت ورضي وليها، لأن هذا النسب الشريف الصحيح لا يسامى ولا يرام، ولكل من بني الزهراء فيه حق قريبهم وبعيدهم، وأتى بجمعهم ورضاهم، وقد وقع أنه تزوّج بمكة المشرفة عربي بشريفة، فقام عليه جميع السادة هناك وساعدهم العلماء على ذلك وهتكوه حتى إنهم أرادوا الفتك به حتى فارقها، ووقع مثل ذلك في بلد أخرى، وقام الأشراف وصنفوا في عدم جواز ذلك حتى نزعوها منه غيرة على هذا النسب أن يستخفّ به ويمتهن، وإن قال الفقهاء إنه يصح برضاها ورضا وليها فلسلفنا رضوان الله عليهم اختيارات يعجز الفقيه عن إدراك أسرارها، فسلَّم تسلم وتغنم، ولا تعترض فتخسر وتندم.


“ (Masalah) seorang wanita syarifah alawiyah dipinang oleh laki-laki yang bukan syarif (non sayyid) . Beliau menjawab “ Aku berpendapat tidak boleh menikahinya walaupun si wanita itu rela dan si walinya juga rela. Karena nasab mulia dan sah ini tidak bisa dicari dan diminta. Dan bagi setiap keturunan Fathimah Az-Zahra memiliki haq sebagai kerabat baik yang dekat maupun yang jauh. Yaitu harus mendapat restu dari mereka semua.


Ini pernah terjadi bahwa ada seoarng arab dari Makkah menikah dengan seorang wanita syarifah, berita ini di dengar oleh seorang saadah (Para Habaib) . Kemudian pernikahan ini dibubarkan setelah hampir saja penganten pria disergap masa. Akhirnya ia memilih untuk menceraikan istrinya.

Pernah juga terjadi di daerah lain, para saadah di sanapun bangkit menentang mereka menulis RISALAH mengenai “ tidak diperbolehkannya pernikahan semacam ini “ dan penganten wanita pun diambil paksa dari pangkuan penganten pria. Mereka melakukan ini semua karena semata-mata ingin membela nasab yang mulia jangan sampai dihinakan atau diremehkan oleh orang meskipun sebenarnya ulama fiqih menganggap sah pernikahan ini, asalkan calon penganten wanita dan walinya sama-sama ridho untuk melakukannya. Namun para pendahulu kita (ulama salaf) punya pendapat yang tidak bisa dipahami oleh ahli fiqih karena di sana ada rahasia-rahasia yang tidak bisa diungkapkan. Terima saja pendapat mereka, maka engkau akan selamat dan memperoleh keberuntungan. Dan jangan sekali-kali menentang, sebab engkau akan merugi dan menyesal !! “


Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):

“Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu' apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara' yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid”.

Selanjutnya beliau berkata:

“Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw”.


Dalil dari kalangan ulama-ulama Mazhab
Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan:
لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء
“Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya”.


Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

‘Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidaksah’.


Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah menjawab:

‘Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad –dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah’.

Persoalan nasab & kafaah syarifah adalah 2 hal yg saling terkait dan sgt penting krn menyangkut eksistensi keturunan nabi sebagaimana sgt diperhatikan oleh para salaf baalawi....meskipun sgt rentang dgn "FITNAH" dr org2 yg dengki & iri dgn anugerah yg diberikan Allah pd keturunan nabi, kita tdk boleh seakan2 menyembunyikan 2 hal yg merupakan tuntunan syariat yg hrs diketahui oleh semua kalangan, inilah kesalahan kita selama ini yg menganggap 2 hal ini adalah hal yg "tabu" shg berdampak banyak kalangan tdk mengerti dan akhirnya menerobos serat2 syariat yg semestinya hrs ditegakkan, belum lagi ditambah dgn "hembusan fitnah dr org2 iri dan dengki yg sengaja mengaburkan dalil2"  yg menjerumuskan utk jauh dr kecintaan thd Rasulullah, dan efek yg diakibatkan akan semakin besar dan melebar, antara lain :

1. Krn ketidaktahuan atau tdk mau tahu, banyak org yg berani dgn bangga menikahi syarifah, bahkan melecehkannya yg semestinya kehormatannya dijaga.

2. Krn ketidaktahuan, akhirnya banyak orang salah tafsir tentang maknah yg dikandung oleh Nasab Dzurriaturrasul dan Kafaah syarifah yg saling terkait dan sangat penting untuk dijaga dan tanggung jawab seluruh muslim krn menyangkut eksistensi keberlangsungan keturunan nabi kedepan.

3. Yang harus ditekankan dan diberi pengertian, kedua hal tersebut sama sekali tidak berkaitan sedikitpun dengan "Kesombongan Nasab" yg biasa dihembuskan oleh orang yg memiliki rasa iri dan dengki dengan berdalih agar dapat menyembunyikan keutamaan kedua hal tersebut, adapun jika ada yang suka membanggakan nasab, itu hanya oknum. Begitupun tdk terkait dengan "bentuk pelecehan/diskriminasi" thd golongan tertentu. Bukankah hal ini merupakan tuntunan syariat yang memiliki banyak nash atau dalil yg mendukungnya, bukankan keturunan Nabi ini telah dibanggakan oleh Allah & Rasulnya yang memang layak untuk dihormati, mana bentuk pelecehannya ??? Mestinya orang-orang yang merasa dilecehkan itu, lebih banyak berfikir : "Siapa yang sebenarnya dilecehkan jika terjadi pernikahan syarifah dengan bukan sayyid (tdk sekufu), yang jelas-jelas telah memutuskan nasab Rasulullah..." yang semestinya kecintaan terhadap Rasulullah tidak diwujudkan dengan menikahi keturunannya.

4. Banyaknya orang tua dan para dzurriah biasanya yg jauh dari komunitas habaib, yang belum mengerti tentang hal ini sehingga menganggap hal ini tidak begitu penting dan kena imbas fitnah-fitnah yang berusaha mengaburkan keutamaan hal tersebut, sehingga tanpa merasa bersalah menikahkan anak perempuannya dengan lelaki yang tidak sekufu (bukan sayyid) dan lebih lagi krn ketidaktahuaannya ikut mendukung menyembunyikan keutamaan hal tersebut.

5. Lebih fatal lagi, maraknya "habib dan Syarifah Gadungan" bukankan ini pelecehan terhadap Rasulullah dan keturunannya. Ini biasa terjadi akibat dari pernikahan tidak sekufu, syarifah dengan bukan sayyid, dimana banyak kasus anak keturunannya yang bernasab kepada ayahnya (bukan sayyid), tetapi masih mengaku "sayyid" , bukankah nasabnya sudah terputus, dan akibat yg ditimbulkan "sangat fatal" dan meluas karena keturunannya bisa mengelabui para syarifah yang lain dan merusak kemurnian silsilah keturunan nabi (Nasab) dan mungkin masih banyak dampak yang ditimbulkan jika hal ini terus dianggap "tabu" untuk dibicarakan.....

Jika semua hal ini terjadi, Siapa yang bertanggung jawab ???


Tidakkah lebih baik kita merenungi diri masing-masing seraya bertanya kepada jiwa fitrah dimanakah sesungguhnya kita berada. Apakah setiap perbuatan kita itu termasuk perbuatan orang yang baik lagi mulia, ataukah orang yang zalim lagi bodoh dan hina. Bukankah Allah-pun telah berfirman : “Sesusungguhnya manusia itu aniaya (zalim) lagi jahil (bodoh tidak berilmu)” QS.33 : 72.  


Untuk apabila di pandang perlu dapat disebar luaskan kepada seluruh keluarga Ba’alwi. Agar dapat diketahui betapa kemuliaan yang memyertai ithrah Rasulullah Saw. Sehingga dengan demikian setiap orang yang merasa mempunyai hubungan “N a s a b” dengan beliau Saw akan terpanggil jiwa dan hatinya secara qudrati untuk bangkit menjaga dan memeliharanya. Tindakan seperti ini adalah bahagian dari realisai rasa syukur kepada Allah SWT, dari orang-orang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan kepada-Nya. 





Manfaat Pernikahan dengan kafaah Syarifah 
 
2013@Abdkadir Alhamid

Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "Polemik dalam Kafaah Syarifah"

  1. Terima Kasih atas kunjungannya, semoga antum betah di blog ini...

    ReplyDelete
  2. Masalah Kafa’ah memang menjadi sebuah perdebatan sengit baik itu dahulu hingga sekarang, hanya saja bedanya sekarang permasalahan itu kembali menjadi asing di tengah-tengah masyarakat karena permasalahan itu telah lama ditinggalkan untuk tidak diperdebatkan, seperti halnya perdebatan tentang keutamaan ali bin abi thalib dibanding abubakar, umar dan usman.
    Berangkat dari permasalahan itu juga dahulu kaum muslimin para sahabat rasulullah saw mempertengkarkan perihal siapa yang paling berhak menduduki jabatan khalifah pengganti rasulullah saw setelah wafatnya. sehingga berawal dari pembunuhan ustman, perang jamal, perang siffin dan perang karbala, ummat Islam terpecah, pendukung keutamaan ali bin abi thalib dan para ahlul bait rasulullah pun kemudian terpecah, ada kelompok yang disebut khawarij dan ada pula yang disebut mu’tazilah, kemudian kelompok ali dan para pendukungnya menjadi lemah akibat ulah orang-orang terdekatnya (pendukungnya) sendiri yang membelot atau lari berpaling tidak lagi mendukung bahkan ada yang berbalik arah menjadi musuh, inilah yang disebut faktor internal.

    ReplyDelete
  3. masing-masing pertengkaran (pertikaian) ini pun mempunyai dasar-dasar dalil naqli dan dalil aqli yang kesemua pihak merasa sama2 kuat pula mereka punya alasan. bahkan untuk saling bunuh sesame muslim dan mukmin pun mereka jadi punya alasan, alasan hanya satu yang paling mujarab yaitu menegakkan hukum agama allah swt.
    Kembali kepada masalah kafa’ah, diantara ulama madzhab pun terjadi perdebatan, bahkan sekarang ini seolah-olah hanya kelompok keluarga alawiyin (secara khusus) atau ahlul bait (secara umum) saja yang memper-masalahkan kafa’ah dalam pernikahan. Faktor internal yang ikut menunjang penentangan faham2 kafa’ah ini semakin memojokkan pendapat tidak boleh para putri2 ahlul bait (syarifah) menikah dengan orang (laki2) di luar mereka (non sayid/syarif), seolah-olah tercipta image di tengah-tengah masyarakat bahwa “nah, kalangan mereka sendiri menentang itu semua, bagaimana kita mau setuju”?
    Saya bernama achmad hery bin alwi bin muchtar bin umar bin salim bin ali bin ahmad (said ali keramat talipure bermukim dan makam di rengat – Riau). kakek saya Said muchtar menikah dengan syarifah aisyah (syarifah ayu) binti said abbas bin agil BSA sedangkan said abbas bin agil BSA ini adalah suami dari Ratumas Intan BInti Sultan Thaha Syaifuddin Jambi, jadi kami adalah keluarga kesultanan Jambi yang mempunyai banyak harta warisan terutama berupa tanah-tanah kebon.
    berangkat dari perebutan harta warisan inilah anak-anak cucu ratumas Intan Binti Sultan Thaha terpecah dan saling bermusuh-musuhan, aba (bapak) saya adalah anak kedua sedangkan anak pertama dari Syarifah Aisyah (Syarifah Ayu) adalah Said Muhammad Yusuf. Dikarenakan nenek saya syarifah aisyah ini merupakan anak tua (sulung) dari Said Abbas bin Agil BSA dan Ratumas Intan Binti Sultan Thaha, sedangkan Syarifah Aisyah ini berempat (4) beradik kakak yang kedua adalah Said Abdullah Bin Abbas dan Syarifah Lulu (Syarifah Bulat) dan Syarifah Halijah yang bungsu. Semasa hidup Said Muhammad Yusuf hidup sepak terjangnya meresahkan para pewaris Ratumas Intan binti Sultan Thaha karena beliau sangat piawai sekali mengendalikan harta warisan itupun didukung dengan posisinya bekerja di badan pertanahan nasional dahulu disebut kantor agraria. sehingga setelah said Muhammad yusuf wafat ulahnya semasa hidup dijadikan kambing hitam untuk menghilangkan hak warisan aba saya said alwi bin muchtar BSA dengan dalih “bagian alwi sudah habis dijual oleh aba salim (said Muhammad yusuf)”.

    ReplyDelete

Silahkan komentar yg positip