//

Tawadhu'


Tawadhu'


Rasulullah SAW bersabda: yang artinya
“Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).
Imam Ali ibn Abi Thalib mengatakan,
“Aku benar-benar heran melihat orang takabur, padahal ia sebenarnya rapuh. Ia bisa mati karena mengkelan, busuk karena keringat, dan tidak bisa tidur karena kutu busuk.”
Jika ia mengkel, makanannya tersendat ditenggorokan, ia bisa mati kalau tidak diselamatkan Allah. Jika keringatan dan tidak mandi, baunya apek. Dan, ia tidak bisa tidur jika digigit kutu busuk. Jika keadaannya seperti ini, bagaimana akan sombong? Pada awalnya, ia bukan apa-apa, pada akhirnya ia juga bukan apa-apa. Apa yang disombongkan?

Hanya ada satu resep untuk mengobati penyakit ini, yaitu tawadhu’; merendah. Dan, ini bisa dicapai dengan selalu mengingat bahwa dirinya bukan apa-apa, bahwa sebenarnya ia tidak ada. Apa yang bisa disombongkan? Harta, pangkat, kedudukan, atau kehormatan? Atau karena berasal dari klan ini dan bangsa ini? Semua omong kosong! Ulama mengatakan bahwa orang yang sombong karena urusan dunia itu sebenarnya dungu. Karena, ia telah menyombongkan diri dengan segala sesuatu yang andaikan bernilai, niscaya takkan diberikan Allah. Kitalah yang akan kembali kepada-Nya, bukan dunia.

Sangat bodoh kalau ada yang beranggapan bahwa kehormatan, pangkat, dan kebahagiaan seseorang diukur dengan duduk atau berdirinya orang lain saat ia datang. Atau diukur apakah orang itu dimuliakan atau tidak? Bagi seorang mukmin, hal ini sangat tidak layak. Karena, orang mukmin hanya mulia disisi Allah. Apa gunanya kita diposisikan di atas manusia lain, padahal disisi Allah kita bukan apa-apa? Ini hanya akan membuka celah untuk terperosok ke dalam lubang penyakit selanjutnya setelah penyakit sombong, yaitu riya’! Orang mukmin mesti mewaspadai ini.

Intinya, agar tawadhu’ dan tidak sombong, manusia harus selalu ingat bahwa kita tidak ada apa-apanya. Jika hendak menyombongkan diri dengan dunia, dunia bahkan lebih hina untuk disombongkan. Bahkan, mestinya manusia malu menjadi ahli dunia. Malu dan takut apabila Allah menguji kita dengan harta, pangkat,kedudukan, kekuasaan, bahkan status social. Takut ini akan Allah jadikan hujjah untuk menyerang dan menjatuhkan dirinya kelak pada hari kiamat. Mestinya ia bersyukur atas segala nikmat yang ia terima, menelisik diri sendiri hingga yang paling dalam, dan meminta pertanggungjawaban diri apakah setiap nikmat sudah disalurkan sesuai yang diridai Allah, sehingga kelak pada hari kiamat Allah tidak mempertanyakan lagi.

Dunia adalah cobaan. Karena itu, saat generasi salaf berhadapan dengannya, mereka selalu mengatakan, “Inilah dosa yang siksanya langsung, tanpa ditunda-tunda.” Jika dunia membelakangi mereka, dan mereka jatuh ke dalam kefakiran, mereka bersukacita dan berkata, “Selamat datang, syiar orang-orang saleh.”

Jika diberi nikmat, orang mestinya berpikir keras bagaimana menyalurkan nikmat itu dalam konteks ketaatan kepada Allah. Jika diberi kedudukan, ia seharusnya merenungkan apa zakat profesi? Zakat profesi adalah mengarahkan diri untuk memenuhi hak orang lain, menolong yang lemah, dan memenuhi kebutuhan orang yang memerlukan. Inilah zakat orang yangberpangkat dan berkedudukan. Bukan malah dijadikan kesempatan untuk menyombongkan diri. Ini bodoh dan tidak layak menjadi sifat orang mukmin.

Diambil dari buku :
Terapi Ruhani Untuk Semua
Karya Habib Ali Al Jufri

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tawadhu'"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip