//

Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad



Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad

Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad

Al-Imam Alwi Al-Ghuyur - Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali’ Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi - Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW

Beliau adalah Al-Imam Alwi bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau dijuluki dengan Al-Ghuyur (yang cemburu), yaitu yang cemburu atas namanya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun dari keluarga Bani Alawy di jaman beliau yang bernama Alwi. Jika ada seseorang yang berniat memberi nama Alwi, pasti ia akan tercegah untuk menamakan dengan nama itu, sehingga memberikan nama lain.
Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau dididik langsung oleh ayahnya. Beliau mengambil dari ayahnya berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Beliau juga menempuh jalan ayahnya, baik secara syariah, thariqah maupun haqiqah. Ibu beliau adalah Hababah Zainab binti Ahmad bin Muhammad Shahib Mirbath, seorang wanita yang termasuk al-’arif billah.
Beliau adalah seorang keturunan Rasul SAW yang agung, seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya, serta seorang ahli zuhud. Beliau adalah seorang al-’arif billah, mempunyai maqam yang tinggi dan karomah yang luar biasa. Beliau banyak mendapatkan ilmu-ilmu laduniyyah dan asrar ghaibiyyah.
Beliau jika berkata terhadap sesuatu, “Kun (jadilah),” maka sesuatu itu jadi sebagaimana yang dikehendakinya dengan ijin Allah. Banyak para ulama besar dan auliya di jamannya menukilkan ucapan beliau yang berkata, “Aku berada dalam maqam Al-Junaid.” Beliau dapat mendengar tasbih dari benda-benda mati.
Beliau bisa mengenali orang-orang yang ahli celaka dan yang ahli bahagia. Pada suatu hari ayahnya, Al-Faqih Al-Muqaddam, berkata kepada beliau pada saat beliau masih kecil, “Engkau dapat mengenali mana orang yang ahli celaka dan mana yang ahli bahagia. Maka lihatlah yang demikian itu di dahiku (aku termasuk yang mana)?.” Lalu beliau melihatnya dan mendapatkannya sebagai orang yang termasuk ahli bahagia, kemudian beliau sampaikan hal tersebut kepada ayahnya. Wajar jika banyak Ulama besar dan Aulia di zamannya yang menukil ucapan-ucapannya. beliau juga mampu mengenali orang-orang yang celaka dan bahagia. beliau dapat mengetahui siapa yang bernasib baik, dan siapa yang bernasib buruk,

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Takutlah kalian kepada firasat seorang mukmin. Sesungguhnya seorang mukmin dapat melihat dengan cahaya Allah.”

Suatu saat beliau berziarah ke datuknya, Rasulullah SAW, dan di sampingnya ada Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi keduanya). Beliau berkata kepada datuknya SAW, “Dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai kakek?.” Menjawab Rasulullah SAW, “Di kedua belah mataku.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada beliau, “Dan dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai Syeikh Alwi?.” Lantas beliau menjawab, “Di atas kepalaku.” Kemudian Abubakar berkata, “Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian?. Dia menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada para fakir miskin 100 dinar.” Setelah beliau pulang, beliau pun bersedekah 100 dinar sebagai tanda syukur.
Ayah beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, memuji kepada beliau dan memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya itu akan menjadi seorang wali yang agung. Banyak para ulama mengatakan bahwa sirr ayahnya pindah kepada diri beliau. Sebagian di antara mereka berkata, “Beliau pengganti dari orang-orang yang terdahulu.”


Ulama Besar yang “Dicemburui”
Ia adalah ulama besar dan wali. Bukan hanya “melayani” Allah, dia juga melayani siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
Tarim, Hadramaut, boleh dibilang merupakan “gudang ulama”. Salah seorang di antaranya ialah Al-Imam Alwi bin Al-Faqih al-Muqaddam, yang mendapat julukan Al-Ghuyur, yang berarti “dicemburui”. Julukan itu diberikan kepadanya karena, ketika itu, tidak seorang pun dari keluarga Bani Alawy di zamannya yang bernama Alwi. Sehingga ketika ia dinamai Alwi – dan itu merupakan suatu kehormatan – banyak orang cemburu kepadanya. Ketika itu, jika ada yang berniat memberi nama Alwi kepada seorang anak, dan biasanya urung, memilih nama lain. Barangkali juga lantaran ilmu agamanya yang sangat tinggi, sehingga banyak orang ”cemburu”, dalam arti positif, kepadanya.

Nama lengkapnya cukup panjang: Al-Imam Alwi bin Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Ia lahir dan dibesarkan di Tarim, Hadramaut, pada abad keenam Hijri. Mendapat pendidikan langsung, mengenai berbagai pengetahuan agama, dari ayahandanya, sejak kecil ia sudah hafal Al-Quran. Bahkan sejak muda ia sudah mempelajari tarekat. Itulah sebabnya, dia juga ahli zuhud, wali yang mempunyai maqam tinggi dan karamah yang luar biasa.
Ia mempunyai banyak karamah. Salah satunya, jika ia berkata mengenai sesuatu, “Kun! (Jadilah!)”, maka jadilah sesuatu seperti yang dikehendakinya, dengan seizin Allah SWT. Wajar jika banyak ulama besar dan aulia di zamannya yang menukil ucapan-ucapannya. Ia juga mampu mengenali orang-orang yang celaka dan bahagia. Ia dapat mengetahui siapa yang bernasib baik, dan siapa yang bernasib buruk, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Takutlah kalian kapada firasat seorang mukmin. Sesungguhnya seorang mukmin dapat melihat dengan cahaya Allah.”

Suatu hari, ayahandanya, Al-Faqih al-Muqadam, memuji dan memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya akan menjadi seorang wali yang agung. Dan menurut para ulama, rahasia keilmuan ayahandanya pindah ke dalam pribadi anaknya. “Al-Imam Alwi al-Ghuyur adalah pengganti orang-orang terdahulu,” kata mereka. Maka, praktis, derajat kewalian terbesar yang dimiliki Alwi al-Ghuyur diperoleh dari orangtuanya, yang dikenal sebagai sesepuh para wali dan pemuka orang-orang bertakwa.
Beliau, Al-Imam Alwi Al-ghuyur, seorang yang cepat memberikan pertolongan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongan. As-Sayyid Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi Al-Khirid Ba’alawy berkata di dalam kitabnya Al-Ghurar, “Mengabarkan kepadaku Asy-Syeikh Abdurrahman bin Ali bahwa para al-’arif billah berkata, ‘Ada 3 orang dari keluarga Bani Alawy yang senantiasa semangatnya terpelihara. Sifatnya yang merespon pertolongan dengan cepat selalu semakin baik dan terjaga. Seorang yang meminta pertolongan kepada mereka, selalu cepat mereka bantu. Mereka adalah Alwi Al-Ghuyur, dan anaknya yaitu Ali, serta Asy-Syeikh Umar Al-Muhdhor.’ “
Ketika menunaikan ibadah haji, Alwi al-Ghuyur memperbanyak ibadah umrah, salat, dan bertawaf, baik siang maupun malam. Ia juga memperdalam ilmu agama kepada sejumlah ulama besar yang mengajar di Masjidilharam, Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji dan umrah, ia berziarah ke makam Rasulullah SAW di Masjid Nabawi, Medinah.
Di makam datuknya itu ia bertanya, “Di manakah kedudukanku di sisimu, wahai Kakek?” Konon, Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Alwi al-Ghuyur, “Di kedua belah mataku.”
Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Dan di manakah kedudukanku di sisimu, wahai Syekh Alwi?” Maka Alwi al-Ghuyur pun menjawab, “Di atas kepalaku.”
Kemudian Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq.ra, yang makamnya di samping Rasulullah, bertanya, “Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian? Dia menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada fakir miskin sebanyak 100 dinar.”



Anak Saleh

Alwi al-Ghuyur tak menjawab pertanyaan Abubakar. Namun, setelah beberapa waktu bermukim di Medinah, ia pulang ke Tarim dan membagikan sedekah 100 dinar kepada sejumlah fakir miskin sebagai tanda syukur. Sejak itu banyak orang bertamu, dan dengan senang hati Alwi al-Ghuyur mendidik dan menuntun mereka ke jalan Allah. Pada saat-saat seperti itulah ia sengaja memperlambat untuk menikah, hingga suatu saat calon keturunannya berkata dari arah punggungnya, “Kami telah berada di punggungmu, cepatlah menikah. Kalau tidak, kami akan keluar dari punggungmu!”
Mendapat teguran semacam itu, ia segera menikah dengan Hababah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Ketika istrinya hamil, berkatalah si jabang bayi dari rahim istrinya, “Aku anak saleh. Aku hamba yang saleh.” Ia dikaruniai oleh Allah SWT dua putra, Sayid Ali dan Abdullah Ba’alwi – yang belakangan juga menjadi muridnya.
Muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, antara lain, Sayid Abdullah Ba’alwi, Sayid Ali, Ahmad, Syekh Ali ibnu Salim, Syekh Ahmad Muhammad Bamukhtar, dan sejumlah ulama kenamaan yang lain.
Alwi al-Ghuyur juga dikenal sebagai orang yang suka bersyukur, pandai menghargai kebaikan orang, suka menyantuni orang lain, dan suka mengabulkan permohonan orang lemah. Siapa saja yang datang kepadanya dan membutuhkan pertolongan, pasti cepat mendapat pertolongan.
Dalam kitab Al-Qurar, As-Sayyid Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi al-Khirid Ba’alawy menulis, Syekh Abdurrahman bin Ali mengabarkan kepadaku bahwa para ulama besar berkata, “Ada tiga orang keluarga Bani Alawy yang semangatnya senantiasa terpelihara oleh Allah SWT. Mereka cepat memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka adalah Alwi al-Ghuyur, dan anaknya, yaitu Ali Maulad Darrak, serta Syekh Umar al-Muhdhar.”
Suatu hari Alwi al-Ghuyur dicaci maki oleh seorang lelaki di depan khalayak ramai, hanya gara-gara dia tidak berkunjung ke rumah lelaki itu. Lelaki tersebut mempunyai khadam, pembantu dari kalangan jin, yang setiap saat mendemonstrasikan kebolehannya. Jika ada orang yang menolak menyaksikan kebolehan jin tersebut, dia dizalimi dengan menggunakan tangan orang lain.
Ketika lelaki itu sedang mencaci maki Alwi al-Ghuyur, tiba-tiba Isa ibnu Amru, seorang lelaki dari Bani Haram, menempeleng wajahnya. “Kalau kamu mencaci maki Sayid Alwi, apakah kami harus diam?”
Setelah ditempeleng, lelaki pemelihara jin itu mengucapkan kata-kata ancaman kepada Isa ibnu Amru.
Khawatir akan ancaman lelaki tersebut, Isa ibnu Amru kemudian menemui Sayid Alwi al-Ghuyur. ”Kamu jangan takut,” kata Alwi al-Ghuyur. Tapi, Isa ibnu Amru tetap takut dan tak berani beranjak dari sisi Sayid Alwi al-Ghuyur.
Akhirnya Sayid Alwi al-Ghuyur pergi ke masjid dan menggerak-gerakkan sebuah pintunya hingga terdengar suara berderit-derit. Kemudian ia pergi ke pintu lainnya dan menggerak-gerakkanya seperti terhadap pintu pertama. ”Ini suara lelaki itu dan suara jin yang selalu ia gunakan untuk mengganggu orang. Kini jin itu telah terbunuh, dan lelaki itu sudah melarikan diri dari Tarim,” kata Syekh Alwi al-Ghuyur.
Al-Imam Alwi al-Ghuyur wafat pada hari Jumat, 12 Zulkaidah 669 Hijri. Jasadnya disemayamkan di makam Zanbal, Tarim, di sebelah timur makam ayahandanya.
Radhiyallohu anhu wa ardhah… 

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih, dikutip dari Majalah Al kisah No. 01/tahun IV/2-15 januari 2006  ]

==============================

Tarim, Hadramaut, boleh dibilang merupakan “Gudang Ulama”. Salah seorang di antaranya ialah Al - Imam Alwi bin Al – Faqih al – Muqaddam, yang mendapat julukan Al-Ghuyur, yang berarti “ dicemburui “. Julukan itu diberikan kepadanya karena, ketika itu, tidak seorang pun dari keluarga Bani Alawy di zamannya yang bernama Alwi. Sehingga ketika ia dinamai Alwi; dan itu merupakan suatu kehormatan; banyak orang cemburu kepadanya. Ketika itu, jika ada yang yang berniat memberi nama Alwi kepada seorang anak, dan biasanya urung, memilih nama lain. Barangkali juga lantaran ilmu agamanya yang sangat tinggi, sehingga banyak orang “cemburu”, dalam arti positif, kepadanya.
Nama lengkapnya cukup panjang : Al-Imam Alwi bin Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa. Ia lahir dan dibesarkan di Tarim, Hadramaut, pada abad ke enam Hijriah. Mendapat pendidikan langsung, mengenai berbagai pengetahuan agama, dari ayahandanya, sejak kecil ia sudah hafal Al-qur’an. Bahkan sejak muda ia sudah mempelajari tarekat. Itulah sebabnya, dia juga ahli zuhud, wali yang mempunyai maqam tinggi dan karamah yang luar biasa.
Imam Alwi bin Muhammad lahir di Tarim, beliau dibesarkan dan dididik dalam asuhan ayahnya. Di samping itu beliau juga hafal alquran, mendengar tasbihnya benda-benda mati. Ibunya ummul fuqara Zainab binti al-Faqih Ahmad bin Muhammad Shahib Marbath.
Telah diriwayatkan bahwa Imam Alwi diperintahkan ayahnya mencari rumput untuk makanan kambing, maka ia kembali ke ayahnya dan tidak jadi memotong rumput tersebut, dan berkata: "Bagaimana saya dapat memotong rumput itu, karena ketika ingin memotongnya saya saksikan rumput tersebut sedang bertasbih kepada Allah swt dan saya merasa malu untuk memotongnya".
Imam Alwi bin Muhammad mempunyai wilayah/kekuasaan mutlak yang diberikan oleh Allah swt. Allah telah mengangkat derajatnya dengan memiliki rahasia ketuhanan dan alam barzah, mengetahui kesengsaraan dan kebahagiaan seseorang, sehingga beliau berkata: "Kedudukanku adalah sama dengan kedudukan al-Junaid". al-Junaid adalah seorang pemimpin kaum sufi. Pada suatu hari ayahnya berkata kepadanya dan ketika itu ia masih kecil: "Engkau mengetahui segala kesusahan dan kebahagiaan, maka bacalah apa yang ada di keningku. Maka dibacanya sesuatu yang mengandung kebahagiaan dan diberitahukan kepada ayahnya".

Ia mempunyai banyak karamah. Salah satunya, jika berkata mengenai sesuatu, “Kun! ( jadilah )”, maka jadilah sesuatu, seperti yang dikehendakinya, dengan seizin Allah SWT. Wajar jika banyak Ulama besar dan Aulia di zamannya yang menukil ucapan-ucapannya. beliau juga mampu mengenali orang-orang yang celaka dan bahagia. beliau dapat mengetahui siapa yang bernasib baik, dan siapa yang bernasib buruk,

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Takutlah kalian kepada firasat seorang mukmin. Sesungguhnya seorang mukmin dapat melihat dengan cahaya Allah.”

Suatu hari, ayahandanya, Al-Faqih Muqaddam, memuji dan memberikan isyarat bahwa pada suatu saat nanti anaknya akan menjadi seorang wali yang agung. Dan menurut para ulama, rahasia keilmuan ayahandanya pindah ke dalam pribadi anaknya.
“Al-Imam Alwi al-Ghuyur adalah pengganti orang-orang dahulu.”. kata mereka.
Maka, praktis derajat kewalian terbesar yang dimiliki Alwi al-Ghuyur diperoleh dari orang tuanya, yang dikenal sebagai sesepuh para wali dan pemuka orang-orang bertaqwa.
Ketika menunaikan ibadah haji, Alwi al-Ghuyur memperbanyak ibadah umrah,shalat dan bertawaf, baik siang maupun malam. Ia juga memperdalam ilmu agama kepada sejumlah ulama besar yang mengajar di Masjidil haram, Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji dan umrah, ia berziarah ke makam Rasulullah SAW di Masjid Nabawi, Medinah.
Di makam datuknya itu beliau bertanya:
“dimanakah kedudukanku disisimu, wahai kakek?”
konon, Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Alwi al-Ghuyur,
“Di kedua belah mataku.”
Lalu Rasulullah SAW bertanya:
“Dan dimanakah kedudukanku di sisimu, wahai Syekh Alwi?”
Maka Alwi al-Ghuyur pun menjawab:
“Di atas kepalaku.”
Kemudian sayyidina Abu bakar Ash shiddiq, yang makamnya disamping Rasulullah, bertanya:
“Bagaimana engkau menempatkan Rasulullah demikian? Dia menempatkanmu di kedua belah matanya, sedangkan engkau menempatkannya di atas kepalamu. Tidak ada sesuatu yang dapat menyamai kedua belah mata. Engkau harus mensyukurinya dengan bersedekah kepada fakir miskin sebanyak 100 dinar.

Alwi al-Ghuyur tak menjawab pertanyaan Sayyidina Abu bakar Ash shiddiq. Namun, setelah beberapa waktu bermukim di Madinah, ia pulang ke Tarim dan membagikan sedekah 100 dinar kepada sejumlah faqir miskin sebagai tanda syukur. Sejak itu banyak orang bertamu, dan dengan senang hati Alwi al-Ghuyur mendidik dan menuntun mereka ke jalan Allah. Pada saat-saat sepertiitu, beliau sengaja memperlambat untuk menikah, hingga suatu saat calon keturunannya berkata dari arah punggungnya:

“Kami telah berada di punggungmu, cepatlah menikah. Kalau tidak, kami akan keluar dari punggungmu”.

Mendapat teguran semacam itu, ia segera menikah dengan Hababah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Ketika istrinya hamil, berkatalah si jabang bayi dari rahim istrinya:
”Aku anak saleh. Aku hamba yang saleh.”
Beliau dikarunai oleh Allah SWT dua putra, Sayid Ali dan Abdullah Ba’Alawi yang belakangan menjadi muridnya.
Murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, antara lain:

• Sayid Abdullah Ba “Alawi
• Sayid Ali
• Sayid Ahmad
• Syekh Ali bin Salim
• Syekh Ahmad Muhammad Bamukhtar,
• dan sejumlah ulama kenamaan lainnya.

Berkata al-Muhaddits Imam Muhammad bin Ali bin Alwi al-Khirrid Ba'alawi dalam kitabnya al-Ghuror , telah dikabarkan kepada Syaikh Abdurahman bin Ali, seungguhnya kaum ulama al-arifin berkata: "Tiga orang dari keluarga Alawiyin yang cerdik dan doanya mustajab ialah Syaikh Alwi, anaknya Syaikh Ali dan Umar Muhdhar".
Ketika saudaranya Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam wafat, kepada beliau Rasulullah memberinya baju dan memerintahkan untuk memakaikannya sebagai kafan kepada saudaranya. Maka dipakaikannya baju tersebut kepada Syaikh Abdullah dan berkata: "Sesungguhnya saudaraku Abdullah adalah seorang wali quthub pada zamannya". Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam wafat pada malam Senin dua puluh Zulqoidah tahun 662 hijriyah. Beliau tidak mempunyai keturunan kecuali anaknya Muhammad An-nuqo'i dan Fathimah (ibu dari Syaikh Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam). Muhammad An-nuqo'i ialah seorang waliyullah, beliau sering bertemu dengan nabi Khiddir as. Karena rasa takutnya kepada Allah swt beliau sering tidak sadar dan jatuh ke tanah.

Murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, antara lain:

• Sayid Abdullah Ba “Alawi
• Sayid Ali
• Sayid Ahmad
• Syekh Ali bin Salim
• Syekh Ahmad Muhammad Bamukhtar,
• dan sejumlah ulama kenamaan lainnya.

Alwi al-Ghuyur juga dikenal sebagai ulama yang suka bersyukur, suka menyantuni yang orang lain, dan suka mengabulkan permohonan orang lemah. Siapa saja yang datang kepadanya dan membutuhkan pertolongan, pasti cepat mendapat pertolongan. Dalam kitab Al-Qurar, Sayid Al-allamah al-imam Muhammad bin Alwi al-Khirid Ba’alawy menulis, Syech Abdurrahman bin Ali mengabarkan kepadaku, bahwa para ulama besar berkata :
“Ada tiga orang keluarga Bani Alawy yang semangatnya senantiasa terpelihara. Mereka cepat memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka adalah Alwi al-Ghuyur dan anaknya, yaitu Ali, serta Syekh Umar al-Muhdhar.”
Suatu hari Alwi al-Ghuyur dicaci maki oleh seorang lelaki didepan khalayak ramai, hanya gara-gara dia tidak berkunjung ke rumah lelaki itu. Lelaki itu tersebut mempunyai khadam, pembantu dari kalangan jin, yang setiap saat mendemontrasikan kebolehannya. Jika ada yang menolak kebolehan jin tersebut, dia dizalimi dengan menggunakan tangan orang lain. Ketika lelaki itu sedang mencaci maki Alwi al-Ghuyur, tiba-tiba Isa bin Amru, seorang lelaki dari bani haram, menempeleng wajahnya.
“kalau kamu mencaci maki Sayid Alwi, apakah kami harus diam?”
Setelah ditempeleng, lelaki pemelihara jin itu mengucapkan kata-kata ancaman kepada Isa bin Amru. Khawatir akan ancaman lelaki tersebut, Isa bin Amru kemudian menemui Sayid Alwi al-Ghuyur.
“Kamu jangan takut” kata Alwi al-Ghuyur.
Tapi Isa bin Amru tetap takut dan tak berani beranjak dari sisi Sayid Alwi al-Ghuyur. Akhirnya Sayid Alwi al- Ghuyur pergi ke masjid dan menggerak-gerakan pintunya hingga terdengar suara berderit-derit. Kemudian ia pergi ke pintu lainnya dan menggerak-gerakkannya seperti terhadap pintu pertama.
”Ini suara lelaki itu dan suara jin yang selalu ia gunakan untuk mengganggu orang lain. Kini jin itu telah terbunuh, dan lelaki sudah melarikan diri dari Tarim.”
Kata Sayid Alwi Al-Ghuyur.
Al-Imam Alwi Al-Ghuyur wafat pada hari jum’at 12 Zulkaidah 669 H / 1271 M. jasadnya disemayamkan di makam Zanbal, Tarim, disebelah timur makam ayahandanya.


( Dikutip dari Majalah Al kisah No. 01/tahun IV/2-15 januari 2006 )  

===============================

Alwi al-Ghayur


Imam Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam lahir di Tarim, beliau dibesarkan dan dididik dalam asuhan ayahnya. Di samping itu beliau juga hafal alquran. Ibunya ummul fuqara Zainab binti al-Faqih Ahmad bin Muhammad Shahib Mirbath.

Telah diriwayatkan bahwa Imam Alwi diperintahkan oleh ayahnya mencari rumput untuk makanan kambing, maka ia kembali ke ayahnya dan tidak jadi memotong rumput tersebut. Ayahnya berkata : kenapa kamu kembali, mana rumput untuk makanan kambingnya ? Imam Alwi menjawab : Bagaimana saya dapat memotong rumput itu, karena ketika ingin memotongnya saya saksikan rumput tersebut sedang bertasbih kepada Allah swt dan saya merasa malu untuk memotongnya.

Berkata al-Muhaddits Imam Muhammad bin Ali bin Alwi al-Khirrid Baalawi dalam kitabnya al-Ghuror, telah dikabarkan kepada syaikh Abdurrahman bin Ali, sesungguhnya kaum ulama al-arifin berkata : Tiga orang dari keluarga Alawiyin yang cerdik dan doanya mustajab ialah syaikh Alwi, anaknya syaik Ali dan Umar Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf.

Imam Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam wafat pada hari Jum’at bulan Dzulqaidah tahun 669 hijriyah. Dari anak-anaknya yang emneruskan keturunannya adalah :

1. Abdullah Ba’alawi

2. Ali, mempunyai anak bernama Muhammad Maula Dawilah.


 2013@abdkadiralhamid

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip