//

Pernikahan Ali dengan Fathimah







Wanita terbaik untuk laki-laki

Tersebutlah nama Fathimah az-Zahra, seorang wanita mulia yang dijuluki al-Batul. Dialah putri kesayangan Rasulullah yang begitu mirip dengan beliau. Dari rahimnyalah lahir dua cucu kesayangan beliau, al-Hasan dan al-Husain. Fathimah merupakan figur muslimah yang jauh dari ketertarikan duniawi dengan segala pernak-perniknya, karena dia sadar betul akan cela dan petaka di balik keindahan dunia.


Fathimah sungguh ia seorang wanita istimewa dengan tiga kemuliaan yang selalu menaunginya, lihatlah siapa ayahnya? Siapa suaminya? Dan siapa anaknya? Laki-laki mana yang dapat menandingi kemuliaan ayahnya, Fathimah ia belahan jiwa Muhammad al-Musthhafa penuntun umat pada petunjuk bagi yang menginginkannya, Fathimah ia teladan bagi kaum ibu, rembulan mengukir jelas setiap langkah kakinya.



Tahukah anda kepada siapa hati Fathimah berlabuh? Dengan siapa Rasulullah menikahkan putri kesayangannya? Sebagai wanita terbaik dari kalangan Ahlul Bait, Fathimah dinikahkan dengan pria terbaik dari kalangan Ahlul Bait, Ali bin Abu Thalib. Rasullullah begitu mencintai Ali sebagaimana sangat mencintai putrinya. Pernikahan Ali dan Fathimah berlangsung di Madinah pasca Perang Badar, tepatnya pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah.


Saat menjalani malam pertama Fathimah baru berusia 18 tahun, sedangkan Ali berusia 25 tahun. Melalui pernikahan ini, Fathimah melahirkan anak-anak yang kelak menjadi imam pemberi petunjuk dan pemimpin seluruh manusia, yaitu al-Hasan dan al-Husain, Ummu Kultsum, Zainab, dan Muhassan. Lantas bagaimanakah kisah pernikahan keduanya?


Ali meminang Fathimah


Mari kita kembali sejenak ke masa lalu, menembus sekat-sekat ruang dan waktu, untuk sama-sama berdiri di dekat pintu bilik mungil yang ditempati Ali bin Abu Thalib. Ketika itu, Ali sedang duduk termenung memikirkan keinginannya untuk menikah. Siapa wanita mulia yang ingin dinikahinya? Tentu saja Fathimah az-Zahra, putri Rasulullah.


Namun, Ali terlalu malu untuk menyampaikan keinginannya itu kepada beliau. Betapa tidak, calon mertuanya adalah seorang utusan Allah. Megetahui niat baik Ali, para Sahabat yang lain pun mendorongnya agar memberanikan diri meminang Fathimah. Simaklah penuturan Buraidah berikut.


Beberapa orang Anshar bertanya kepada Ali: “Bukankah kamu ingin menikahi Fathimah?” Ali kemudian memberanikan diri menemui Rasulullah. “Hai putra Abu Thalib, apa gerangan yang membawamu kemari?” demikian Rasulullah bertanya kepada Ali sesaat setelah dia tiba di rumah beliau. “Wahai Rasulullah, aku teringat Fathimah binti Rasulullah,” jawab Ali. “Marhaban wa ahlan (selamat datang kuucapkan kepadamu).” Hanya dua kata itu yang beliau katakan kepada Ali, tidak lebih. Setelah itu, Ali pulang menemui orang-orang Anshar yang tengah menunggunya.


“Bagaimana jawaban Rasulullah?” Tanya mereka penasaran. “Entahlah, beliau hanya mengatakan: ‘Marhaban wa ahlan’ padaku,” tukas Ali. “Seandainya Rasulullah hanya mengucapkan salah satu dari dua kata itu, niscaya hal tersebut sudah cukup menjadi isyarat bagimu. Beliau telah menganggapmu sebagai keluarga dan mengucapkan selamat datang padamu,” jelas mereka.


Sebuah riwayat menyebutkan nama orang-orang yang menyarankan agar Ali meminang Fathimah untuk dinikahinya, antara lain Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, dan Sa’ad bin Mu’adz. Para Sahabat ini adalah orang yang paling tulus dan paling sayang kepada umat Muhammad. Mereka sangat mencintai Ahlul Bait. Abu Bakar sendiri pernah menyatakan: “Demi Allah, membina silaturahim dengan kerabat Rasulullah lebih aku sukai daripada membina silaturahim dengan kerabatku sendiri.


Mahar Ali Radhiyallahu 'anhu kepada Fathimah

Sebelum menikahi Fathimah, Ali menyerahkan uang senilai zirah (baju perang yang terbuat dari besi) miliknya sebagai mahar pernikahan mereka. Bahkan, zirah itu merupakan pemberian dari Utsman bin Affan. Utsman memberikan pakaian perang tersebut kepada Ali beserta uang yang senilai dengannya.

Hanya itu mahar yang diterima Fathimah, padahal dia pemimpin seluruh mukminah dan putri hamba terbaik di muka bumi. Wanita ini adalah sosok mutiara yang penuh dengan kesempurnaan dan kemuliaan.

 Wanita mana yang dapat tandingi Fathimah az-Zahra baik nasab, kemuliaan, keutamaan atau kedudukannya, sungguh Allah telah mengutamakan dan memuliakannya karena dia putri dari hamba terbaik di muka bumi ini.


Ali bin Abu Thalib menceritakan kisahnya ketika melamar Fathimah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut.

Ketika akan menikahi Fathimah, aku berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku (dengan Fathimah). “Jika kamu ingin menikah dengan dia, berilah sesuatu sebagai maharnya!” Beliau menanggapi.

“Tetapi, aku tidak punya apa-apa,” tukasku.
“Mana zirah Hutamiyahmu?”
“Ada di rumah.”
“Kalau begitu, berikanlah zirah itu sebagai maharnya!” titah beliau.



Ali lantas menjual zirah Hutamiyah miliknya kepada Utsman bin Affan seharga 480 dirham. Akan tetapi, begitu mengetahui bahwa alas an Ali menjualnya adalah untuk menikah, Utsman langsung menghadiahkan zirah itu, sebagai hadiah pernikahannya. Lalu Ali menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan membawa uang hasil pennjualan zirahnya dan zirah itu sendiri. Sementara Rasulullah mendoakan sejumlah kebaikan untuk Utsman.



Persiapan Pranikah

Setelah jelas bahwa lamarannya terhadap Fathimah diterima oleh Rasulullah, Ali pun mempersiapkan segala sesuatunya bagi pernikahan mereka agar penuh berkah dan sakral. Betapa tidak, dia akan menikahi seorang wanita suci yang taat kepada Allah. Mukminah dengan garis keturunannya mulia yang sering menangis karena takut kepada-Nya.


Adapun Rasulullah, beliau mempersiapkan kain khamil (yaitu kain putih yang terbuat dari wol dan bertekstur kasar), geriba air, dan bantal kulit yang diisi serabut untuk putrinya. Tidak hanya itu, dan beliau juga menyiapkan dua batu penggiling gandum, kantong air, dua tempayan, tikar bermotif garis, minyak wangi, dan beberapa baju untuk Fathimah.


Saksi Pernikahan


Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengundang beberapa Sahabat senior, meminta mereka menjadi saksi bagi pernikahan putri beliau. Mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidullah, dan az-Zubair bin Awwam.

Ali sendiri tidak pernah melupakan budi baik para Sahabat dalam urusan pernikahannya, yang darinya lahir generasi penerus Ahlul Bait. Karena begitu cinta kepada para Sahabat, dia pun menamai anak-anaknya dengan nama mereka, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua gugur syuhada pada peristiwa Karbala, bersama saudara mereka, al-Husain.

Pesta Pernikahan

Buraidah mengisahkan Saat Ali memingang Fathimah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpesan kepadanya: “Pernikahan itu harus ada walimahnya, resepsinya. Mendengar hal itu, Sa’ad angkat bicara: “Aku akan menyumbang satu ekor kambing. Kemudian, sejumlah orang Anshar  juga turut mengumpulkan beberapa sha biji jagung untuk walimah tersebut.

Subhannallah!
Betapa banyak nilai sosial yang terdapat pada peristiwa ini. Perhatikanlah bagaimana kerja sama antar individu masyarakat (madani) yang terwujud pada berbagai aktivitas sosial.

Malam pertama

Asma binti Umais mengisahkan: Aku turut hadir pada pernikahan Fathimah putri Rasulullah. Pada pagi harinya, Nabi datang dan berhenti di depan pintu seraya berkata:
“Wahai Ummu Aiman, panggilkan saudaraku (Ali).”
“Dia saudara Anda, dan Anda akan menikahkan putri Anda dengannya?” Tanya Ummu Aiman.
“Benar, wahai Ummu Aiman,” tukas beliau.

Tidak lama kemudian, Ali datang menghadap Rasulullah. Kemudian beliau memercikkan air kepadanya, dan mendoakan kebaikan untuknya.



Tempat tinggal Ali dan Fathimah

Kita mengetahui bahwa Ali termasuk kaum Muhajirin, yang ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah. Layaknya kaum Muhajirin yang lain, mulanya Ali tidak memiliki rumah dan tempat bernaung di kota ini, apalagi petakan tanah dan kebun kurma.

Namun demikian, tarbiyah yang ditanamkan Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada para Sahabat membuahkan akhlak terpuji dan cara hidup masyarakat madani yang dilandasi dengan semangat persaudaraan dan kesetaraan.

Semua itu Allah abadikan di dalam firman-Nya:

وَيُؤْثِرُ‌ونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ

Artinya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan.. “ (QS. Al-Haysr 59:9)


Sebelum ali melangsungkan pernikahan dengan Fathimah, Rasulullah berpesan kepada calon menantunya itu: “Carilah rumah!” Ali kemudian mencari rumah untuk tempat tinggalnya bersama Fathimah, dan ia mendapatkan sepetak rumah yang agak jauh dari rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di sanalah Ali melalui malam pertamanya dengan Fathimah.


Pada suatu harin Nabi datang menemui putrinyaitu lalu berkata: “Aku ingin kamu tinggal di dekatku.”
“Jika ayahanda berkeinginan demikian, mintalah Haritsah bin an-Nu’man agar pindah, supaya rumahnya dapat kutempat kutempati,” balas Fathimah. Fathimah berharap agar Haritsah bersedia pindah  dari rumahnya, sehingga dia bisa menempatinya.


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menjelaskan kepadanya: “Haritsah sudah berkali-kali pindah dari rumahnya demi aku, sampai-sampai aku malu (atas pengorbanannya).” Haritsah memang memiliki beberapa rumah di dekat rumah-rumah Nabi di Madniah.

Akhirnya, keinginan Rasulullah terhadap putrinya itu sampai ke telinga Haritsah. Sahabat ini pun menghadap beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendapat berita bahwa engkau ingin memindahkan Fathimah ke dekat rumahmu. Inilah rumah-rumahku, lokasinya paling dekat dengan rumahmu di antara perumahan Bani an-Najar.

Sungguh, aku dan hartaku adalah milik Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah, demi Allah, apa yang engkau ambil dariku lebih aku sukai dari pada yang tidak engkau ambil.” Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Sumpahmu itu benar adanya. Semoga Allah memberkahimu.” Setelah itu, beliau memindahkan Fathimah ke salah satu rumah milik Haritsah.

Demikianlah pernikahan Ali dengan Fathimah, semuanya dilakukan secara sederhana dan bersahaja namun tetap penuh dengan cinta dan kasih sayang. Tidak ada sedikit pun sikap berlebihan atau mubazir dalam pernikahan mereka

RasulAllah Saw diberitahu bhw putri terkasihnya, Sayyidah Fatimah sedang sakit.
Maka beliau segera menuju rumah Sayyidah Fatimah bersama sahabat Imran bin Hushain.
Sesampainya disana, beliau mengucapkan salam dan meminta izin untuk masuk.

Beliau menemui putrinya yg sedang sakit, berbaring lemah diatas tikar yg terbuat dari anyaman daun kurma.
"Assalaamu'alaiki wahai putriku, bagaimana keadaanmu ?" Tanya Rasul penuh kasih sayang.

"AlhamduLillah.. wahai ayah, aku sakit dan bertambah sakitku ketika aku tidak mendapatkan makanan bbrp hari ini, aku sangat lapar wahai ayah..", jawab Sayyidah Fatimah
رضي الله عنـها dengan suara lirih.

Rasulpun menangis dan bersedih mendengar jawaban putrinya.
Kemudian beliau bersabda,
"Wahai putriku, jangan engkau menangis dan bersedih hati,
Demi
Allah aku sudah tiga hari ini tidak mencicipi makanan sedikitpun, sedangkan aku lebih mulia disisi Allah drpd dirimu.

Sungguh jika aku mau meminta kepada
Allah makanan yg lezat, pasti Allah akan memberikan nya kepadaku, namun aku lebih mengutamakan kejayaan di akhirat daripada di dunia"

"Ketahuilah, Maryam adalah wanita paling mulia pada masanya, Khadijah juga wanita paling mulia di masanya dan engkau adalah wanita paling mulia di masamu. Kalian semua kelak di surga akan menempati istana yg tidak ada lagi kesusahan dan kesedihan di dalamnya..

Bersabarlah wahai anakku, berlakulah qana'ah terhadap suamimu (Sayyidina Ali bin Abi Thalib), sungguh aku telah menikahkanmu dengan seorang pemuda yg akan menjadi pemimpin di dunia dan akhirat"


("Ihya' Ulumuddin", Hujjatul Islam Imam Ghazaly رضي الله عنـه)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pernikahan Ali dengan Fathimah"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip