//

Larangan Mengkafirkan


Larangan Mengkafirkan



Pada akhir-akhir ini sebagian golongan umat Islam yang mengklaim dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni, pengikut para Salaf Sholeh dan menuduh serta melontarkan kritik tajam sebagai perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai berani mengkafirkannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan melakukan ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlil/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a sambil tawassul kepada Nabi saw. dan para waliyyullah/sholihin, mengadakan 
peringatan keagamaan diantaranya maulidin/kelahiran Nabi saw., pembacaan Istighotsah, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai berani mengatakan bahwa pada majlis-majlis peringatan keagamaan tersebut adalah perbuatan mungkar karena didalamnya terdapat, minuman khamar (alkohol), mengisap ganja dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Golongan yang sering mengatakan dirinya paling benar itu tidak segan-segan menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur'an (merubah al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Ini fitnahan yang amat keji dan membuat perpecahan antara sesama muslim.            
Alasan yang sering mereka katakan bahwa semuanya ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah saw., atau para sahabat, dengan mengambil dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al Qur’an yang menurut paham mereka bersangkutan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang membantah, merubah dan menyalahi serta menentang perintah Allah dan Rasul-Nya.

Golongan pengingkar ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu amalan yang bertentangan dengan pahamnya itu semuanya tidak ada, palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits tersebut telah dishohihkan oleh para pakar hadits. Begitu juga bila ada ayat Ilahi dan hadits yang maknanya sudah jelas tidak perlu ditafsirkan lagi serta makna ini disepakati oleh para pakar islam dan oleh sebagian ulama dari golongan pengingkar ini sendiri, mereka dengan sekuat tenaga akan merubah makna ayat dan hadits ini bila berlawanan dengan paham golongan ini sampai sesuai/sependapat dengan pahamnya.  Disamping itu golongan pengingkar ini akan mentakwil (menggeser arti) omongan ulama mereka yang menyetujui arti dari ayat ilahi dan hadits tersebut sampai sesuai dengan paham mereka. Oleh karenanya banyak pakar hadits dari berbagai madzhab mencela dan mengeritik kesalahan golongan pengingkar yang sudah jelas itu. Para pembaca bisa meneliti dan menilai sendiri nantinya apa yang tercantum dalam website dihadapan anda ini.
         
Kita semua tahu bahwa firman Allah swt (Alqur’an) yang diturunkan pada Rasulallah saw. itu sudah lengkap tidak satupun yang ketinggalan dan dirubah. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kalimat-kalimat/tekts yang tertulis didalam Alqur’an telah dirubah dan lain sebagainya, maka ia telah meragukan kekuasaan Allah swt., karena Dia telah berfirman yang artinya: 'Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-qur'an dan Kamilah yang menjaganya (QS.Al-Hijr:9). Seandainya Al-Qur'an tidak dijamin oleh Allah swt., tentu al-qur'an juga sudah berubah, sebagaimana kitab-kitab suci sebelumnya. Lain halnya dengan hadits Rasulallah saw, ini tidak ada jaminan dari Allah swt., sehingga banyak diketemukan hadits-hadits palsu, sehingga para pakar hadits harus meneliti setiap hadits. 
Masalah haram atau halal suatu amalan itu, telah diterangkan dalam syariat islam dengan jelas. Bila tidak ada keterangan yang jelas untuk suatu masalah, para ulama akan menilai dan meneliti amalan itu, apakah amalan itu sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at yang telah digariskan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.

Bila amalan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, malah sebaliknya banyak hikmah dan manfaat bagi ummat muslimin khususnya, maka para ulama ini tidak akan mengharamkan amalan tersebut, malah justru menganjurkan/mensarankan agar diamalkannya oleh muslimin. Karena mengharamkan atau menghalalkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash yang khusus untuk masalah itu. Apalagi amalan-amalan dzikir yang masih ada dalilnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang semuanya mengingatkan kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta bernafaskan tauhid. Umpamanya, kumpulan/majlis dzikir (tahlilan, istighotsah, kumpulan majlis dzikir secara jahar, peringatan keagamaan ..), ziarah kubur, bertawasul dalam do’a, bertabarruk dan lain sebagainya. Tidak ada alasan orang untuk mengharamkannya. Jadi dalil-dalil yang mereka sebutkan untuk melarang amalan-amalan yang dikemukakan tadi tidak tepat, karena hal itu termasuk kategori dzikir kepada Allah swt dan merupakan perbuatan kebaikan. Dan semua perbuatan baik dengan cara apapun asal tidak melanggar dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah digariskan dalam syariat malah dianjurkan oleh agama. Jika amalan-amalan yang telah dikemukakan itu dilarang, tidak disenangi dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah dholalah (sesat), bagaimana dengan majlis yang tanpa di-iringi dengan dzikrullah dan shalawat pada Nabi saw. seperti berkumpulnya kaum muslimin disuatu tempat hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja?    

Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan tadi, berani menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat, syirik dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti itu, apalagi orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut justru lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima dan mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama tersebut. Perbedaan pendapat antara kaum muslimin itu selalu ada, tetapi bukan untuk dipertentangkan dan dipertajam dengan saling mensesatkan dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-sama berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw (hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut pandang mereka).

Janganlah setelah menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi saw mengecam, menyalahkan atau berani mensesatkan/mengkafirkan kaum muslimin dan para ulama dalam suatu perbuatan, karena tidak sepaham dengan madzhabnya. Orang seperti ini sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling benar dan paham sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan para ulama yang tidak sependapat dengan mereka, adalah sesat, bodoh dan lain sebagainya. Kami berlindung pada Allah swt, dalam hal tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang benar jalan hidupnya. Ingat firman Allah swt. diatas (Al-Isra’[17] : 84 dan An Najm [53] : 32) dan ayat-ayat yang semakna.
           
Kita boleh mengeritik atau meluruskan suatu golongan muslimin, bila golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari garis-garis syari’at Islam. Umpama mereka meniadakan kewajiban sholat setiap hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib, minum alkohol dan makan babi itu haram. Begitu juga kita boleh mengeritik/meluruskan suatu golongan muslimin yang meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/ tasybih Allah swt sebagai makhluk-Nya secara hakiki (Umpama; Allah mempunyai tangan, kaki, wajah secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena semua ini  tidak dibenarkan oleh para pakar Islam dan hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah swt yang mengatakan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan sebagainya, baca surat Asy-Syuura [42] : 11: surat Al-An’aam [6] : 103; dan surat Ash-Shaffaat [37] : 159 dan ayat-ayat lain yang semakna. Begitu juga halnya dengan firman-firman Allah swt yang mutasyabihat atau yang menunjukkan kalimat-kalimat seperti tanganNya, wajahNya dan lain sebagainya, harus disesuaikan maknanya dengan ke-Maha Suci dan ke-Maha AgunganNya atau diserahkan maknanya kepada Allah swt (untuk lebih mendetailnya silahkan rujuk bab Tajsim disitus ini).  Perbedaan pendapat antara golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas melanggar syari’at Islam inilah yang harus diselesaikan dengan baik antara para ulama setiap golongan tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara setiap kaum muslimin.
           
Pernah terjadi yaitu pengalaman seorang pelajar di kota Makkah yang berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengannya mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/bolehnya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/ samar seperti ayat: Yadullah fauqo aidiihim (tangan Allah diatas tangan mereka), Tajri bi a’yunina ( [kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan ta’wil itu berpendapat bahwa kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (jadi bukan berarti tangan Allah swt secara hakiki/sebenarnya) sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.           
Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat diatas itu langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah didamprat habis-habisan dengan tenang memberi komentar: “Kalau saya tidak boleh takwil, maka anda akan buta di akhirat”. Ulama tunanetra itu bertanya: “Mengapa anda mengatakan demikian?”. Dijawab : Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt berfirman: “Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.           
Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat, karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra). Karenanya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas menurut mereka diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa".
           
Alangkah baiknya jika perbedaan paham antara kaum muslimin ini diselesaikan dengan berdialog yang baik ! Allah swt. berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
           
Sebagai ummat yang terbaik, kita tentu tidak ingin tercerai berai hanya lantaran berbeda pandangan dalam beberapa masalah yang tidak prinsipil. Kalau kita teliti lebih dalam ajaran-ajaran Islam, maka kita akan temukan persamaan diantara golongan masih jauh lebih banyak daripada perbedaan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi justru perbedaan yang tidak banyak itulah yang sering diperuncing dan ditampakkan sementara persamaan yang ada malah disembunyikan.

Mari kita perhatikan hadits-hadits Nabi saw berikut ini :

Rasulallah saw. bersabda: 
                                                                              لَنْ يُدْخِلَ أَحَداً مِنْكُمْ عَمَلُهُ الجَنَّةَ قَالُوْا وَلاَ أَنْتَ
                                                                              يَا رَسُوْلَ الله, قَالَ : وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ
                                                                              بِفَضْلٍ مِنْهُ وَرَحْمَةٍ.                                           

Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’  Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpah kan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)

Juga sabda Nabi saw dalam hadits yang lain: 
       أَيُّهَا النَّاسُ أُفْشُوْا السَّلاَمَ وَ أَطْعِمُوْا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامُ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ  بِسَلاَم
Artinya:“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah hubungan persaudaraan dan dirikanlah sholat ditengah malam niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan”.

Memahami hadits diatas ini maka kita akan seharusnya bertanya; ‘Apakah mungkin karunia dan rahmat kasih sayang Allah swt. akan dilimpahkan kepada kita sementara perbedaan yang kecil dalam masalah ibadah sunnah senantiasa kita perbesar dengan saling mengejek, mengolok-olok, menfitnah, mensesatkan, saling melukai bahkan saling bunuh….?’

Kunci untuk masuk surga tidaklah cukup dengan hanya melakukan shalat tengah malam saja, tapi harus ada upaya untuk menyebarkan salam, memberi bantuan dan menyambung tali persaudaraan. Tanpa adanya tiga upaya ini, maka sebagian kunci surga kita telah terbuang. Bukankah perbedaan paham disikapi dengan saling sesat menyesatkan satu sama lain, sudah tentu, akan mengakibatkan munculnya permusuhan, membikin kesulit an dan memutuskan tali persaudaraan. Menuduh, mengolok-ngolok kaum muslimin dengan tuduhan dan memberi gelar yang sangat buruk seperti bid’ah dholalah, laknat atau syirik ini sama dengan ‘kufur’.

Kalau memang dakwah golongan yang suka mengolok-olok ini senantiasa berdasarkan Al-Qur’an, mengapa mereka melanggar tuntunan Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya: 
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok  olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.

Begitu juga kalau dakwah golongan tersebut senantiasa berdasarkan kepada hadits Nabi saw yang shahih, lalu mengapa mereka melanggar beberapa hadits shahih diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim:

المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْـبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا                                    

Artinya: “Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”

Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar, yang katanya, Rasulallah saw bersabda: 

                                ِ ابْنِ  عُمَر (ر) قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ.صَ.: اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِيْهِ: يَاكَافِرُ!
                                                                                                                                                                                               فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَان كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.           

Artinya“Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhori :

                                                                                                                                       مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَ صَلَّى صَلاَتَنَا وَ أَكَلَ
ذَبِيحَتَنَا فَهُوَ المُسْلِمُ لَهُ مَا لِلْمُسْلِمِ وَعَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُسْلِمِ                                                                                                  

                                                    

Artinya: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelihan sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.

Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:  
 
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ  الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
                                                                                
Artinya: “Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.

Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah  saw. bersabda: 
                                                               
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر)  اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ.  يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَدُوُّ   اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم) 

Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak  demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.

Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:

وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ : قَامَ النَّبِيّ .صَ.  يُصَلِّّي فَقَالَ:          
اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ.  :                                     
لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر                                        
 مَنْ قَالَ : لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله    (رواه البخاري و مسلم)                                                           

Artinya: “Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: ‘Dimanakah Malik bin Adduch-syum’? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahaillallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah’ ”.

Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;

            عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ    (رواه أبوداود)                                            

“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”.   (HR.Abu Daud).

Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudaranya yang mengadakan majlis dzikir, yang disana selalu didengungkan kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada Allah swt. dan Rasul-Nya, yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? 

Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw bersabda :         
                                                                   
وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ. يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)
                                                                                                                
Artinya: “Sungguh adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat". (HR.Bukhori dan Muslim)

Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering mencela, mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya ? Pikirkanlah !

Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai akhir ayat.” 
Lihat ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh menuduh atau mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang yang mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga kita membunuhnya. 

Perintah Allah swt. (dalam surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim. 

Masih banyak riwayat yang melarang orang mencela, mengkafirkan sesama muslimin yang tidak dikemukakan disini. Jelas buat kita dengan adanya ayat al-Qur’an dan hadits-hadits  Rasulallah saw. diatas, kita bisa bandingkan sendiri bagaimana tercelanya orang yang suka menuduh sesat, kafir, syirik terhadap sesama musliminnya. Begitu juga orang yang suka mencela, mensesatkan satu madzhab selama madzhab ini tidak keluar dari akidah yang telah digariskan oleh syariat islam selain madzhabnya, karena tidak sepaham dengan madzhabnya, Sebab tuduhan ini sangat berbahaya. Nabi saw. menyuruh agar kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu bisa mengantarkan kita keneraka.  Wallahu a'lam.

Makalah dihadapan para pembaca ini , akan menjawab seputar masalah Bid’ah (masalah baru), Tawassul, Tabarruk dan sebagainya, yang penulis kutip dan kumpulkan bagian-bagian yang penting saja dari keterangan dan tulisan para ulama. Insya Allah akan lebih jelas bagi kita untuk bisa membedakan bid’ah dholalah yang dilarang dan  bid’ah hasanah, begitu juga amalan-amalan mana yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sumber-sumber isi website ini kami kutip dan kumpulkan dari kitab-kitab antara lain: Kitab Riyadhus Sholihin; Kitab At-Taj Al-Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahaadititsir Rasuuli oleh Syeikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini; Kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq; Kitab Keagungan Rasulallah saw. dan Keutamaan Ahlul Bait oleh Almarhum H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini ; kitab Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh Almarhum K.H.Abdullah bin Nuh ; kitab Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh Almarhum H.M.H Al-Hamid Al-Husaini; kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz H.Mujiburrahman, kitab Shalat bersama Nabi saw. oleh Syeikh Hasan bin Ali As-Saqqaf ; Kitab Asbabun Nuzul  dan Hadits Pilihan -sebagai penyusunnya saudara Syamsuri Rifa'i dan Ahmad Muhajir ; Fiqh Klenik oleh M.Rdihwan Qoyyum Sa'id dan kitab-kitab lainnya; dari situs Abusalafy dan website-website lainnya.

Semoga dengan hadirnya website ini menjadikan kita memahami dan tidak ikut mensesatkan atau mengkafirkan kaum muslimin yang menghadiri majlis majlis dzikir atau mengikuti madzhab yang lain dari madzhabnya, sehingga mewujudkan kesatuan dan persatuan antar umat Islam yang  sudah terpecah belah. Insya Allah semuanya ini bisa membuka hati kita untuk menyelidiki dan berpikir apakah benar amalan-amalan tersebut sebagai bid’ah dholalah/rekayasa sesat ?

Hanya kepada Allah swt. penulis memohon agar manfaat website ini bisa tersebar dan dicatat oleh-Nya sebagai amalan yang ikhlas untuk yang Maha Mulia, menjadi penyebab keridhaan-Nya serta mendekatkan kita kepada-Nya kelak di Surga, demi kebenaran (bi haqqi) Rasul-Nya junjungan kita Nabi besar Muhammad saw.

abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Larangan Mengkafirkan"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip