//

Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil untuk orang yang telah wafat

Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil  untuk orang yang telah wafat


          عَنْ أبِى هُرَيْرَة (ر) أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:   
  صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ                              
          
Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah (terus menerus berjalan) atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak  shalih yang mendo’akannya”.      
     
Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit !

Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amalnya, karena ia tidak di wajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Begitu juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayit tidak dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh.

– Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
           
Banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum muslimin  (jadi bukan hanya doa dari anaknya saja) untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya (baca keterangan sebelumnya), yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin ,baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .   
Mengapa dalam hadits diatas dicontohkan do’a anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang tuanya, dimana orang-orang lain telah melupakan ayah- nya. Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.  
Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti dan selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits ini. Dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat, selama dua hal ini masih diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at darinya.

Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar yang hanya membatasi do'a dari anak sholeh yang bisa sampai kepada mayit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa'at/manfaat do'a dari amalan orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran dan pembatasan hanya do'a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit.

– Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522  Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa ‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.  
Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 3/218: Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya maupun dari yang selainnya’

– Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra:
                                                                                                             
عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
 وَالآخَرُ عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى صَ فَلآ اَدَعُهُ اَبَدًا.                         
                                                                                                               
Artinya: “Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.) dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya‘ ”.  (HR Turmudzi dalam shohihnya jilid VI halaman 219).

Dalam hadits ini Rasulallah saw telah memerintahkan sayidina Ali kw, untuk berkorban yang pahalanya buat dirinya dan buat Rasulallah saw. Sayidina Ali kw tidak akan meninggalkan amalan ini selamanya.

– Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdo’a :

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ         
       
Artinya: “Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi menyembelihnya”.  (HR. Muslim dalam shahih muslim jilid XIII halaman 122).
Jelas dalam hadits ini Nabi saw berkorban yang pahalanya untuk beliau saw, keluarganya dan seluruh umat muslim. Kalau hal ini tidak bermanfaat dan dilarang dalam agama maka  tidak mungkin diamalkan oleh Rasulallah saw.

Dalam kitab Bariqatul Muhammadiyah jilid II,halaman 99 cet.Mustafa Babil Halabi, pengarangnya memberi komentar tentang hadits ini sebagai berikut: ‘Nabi Muhamad  memberikan pahalanya kepada umat beliau. Ini berarti pelajaran dari Nabi bahwa amalan orang lain bisa memberi manfaat kepada orang lain.Mengikut ajaran dan petunjuk Nabi ini adalah berpegang dengan tali yang teguh’.

– Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Jabir ra yang menerangkan bahwa ia pernah shalat 'Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
           
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat berqurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini.  

– Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya: Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya, serta menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’. 

– Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).

– Hadits ,yang diriwayatkan imam Turmudzi dalam shahihnya jilid IV halaman 297, dari Abu Hurairah, beliau berkata: Bersabda Rasulallah saw diri seseorang tergantung kepada hutangnya, sampai hutangnya dibayarkan..Hadits ini jelas bahwa seorang yang telah wafat dan mempunyai hutang maka ia belum bebas kalau hutangnya itu belum dibayar oleh ahli warisnya atau karib kerabatnya.  Dengan demikian jelas  amalan orang yang hidup bisa bermanfaat bagi si mayit. 
      
Walaupun cukup banyak hadits yang membolehkan amalan orang yang hidup (hadiah pahala dan lain-lain) yang berguna untuk si mayit tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, tapi ada golongan yang berbeda pendapat mengenai hukumnya penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang membedakan antara ibadah badaniyah (jasmani) dan ibadah maliyah (harta).  
Sebagian dari mereka berkata; pahala ibadah maliyah seperti sedekah dan haji sampai kepada mayit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur'an tidak sampai. Mereka ini juga berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulallah saw.: Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum (puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum?’ (HR An-Nasa'i).
           
Sebenarnya yang dimaksud hadits terakhir ini ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar maka si A minta pada Si B untuk menggantikannya, inilah yang dilarang oleh agama. Karena orang yang masih hidup harus menunaikan sholat sendiri-sendiri tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
Begitu juga bila orang yang masih hidup tidak mampu puasa lagi karena alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama umpama sudah tua sekali atau mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh orang lain, tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah (fidyah) untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800 gram).  
Dengan demikian hadits terakhir diatas ini tidak tepat sekali untuk digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah badaniyah yang pahala amalannya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat. Karena cukup banyak hadits Rasulallah saw. ,baik secara langsung maupun tidak langsung, yang membolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah wafat baik yang berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya pada halaman berikut)

Sedangkan golongan ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan pahala ,baik itu ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah, akan sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji, pelunasan hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya, dengan mengqiyaskan hal ini pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampai nya pahala ibadah puasa, haji, sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk muslimin yang telah wafat dan sebagainya.
Golongan ini berkata: "Pahala adalah hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama muslim maka hal itu mustahab/ baik, sebagaimana tidak adanya larangan menghadiahkan harta untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan hutang setelah wafatnya".   
         
Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya  hadits dari  Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat do’a  untuk si mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya.

2. Golongan pengingkar menyebutkan beberapa dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si mayit diantaranya, firman Allah dalam surat an-Najm ayat 39: ‘Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan’.  Mereka mengatakan ayat ini jelas bahwa manusia tidak akan mendapat pahala dari amal orang lain bagaimana jugapun. Orang yang berfatwa boleh menghadiahkan pahala dan pahala itu sampai kepada mayat termasuk orang yang bodoh tdiak mengerti agama.

Ayat tersebut dijadikan oleh mereka sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala untuk si mayit, ini juga tidak tepat sekali. Ayat ini menerangkan hukum yang terjadi pada syariat nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum yang terjadi dalam syariat Nabi Muhamad saw. Ayat ini tidak bisa dibuat dalil untuk menolak hadiah pahala. Pangkal ayat ini ialah:‘Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan kitab Nabi Ibrahim yang memenuhi kewajibannya, bahwa tiada memikul seseorang akan dosa orang lain, dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selalin yang diusahakannya’.Jelas susunan ayat ini untuk Nabi Musa dan Nabi Ibrahim.
Seorang ahli tafsir Khazin dalam kitab tafsir-nya jilid VI halaman 223 menerangkan ayat ini sebagai berikut: ‘Adalah yang demikian itu untuk kaum Ibrahim dan Musa dan adapun bagi umat ini (umat Islam) maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan dari usaha orang lain’.

Dalam ayat ini Allah swt tidak mengatakan  bahwa si mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali dari usahanya sendiri. Untuk menafsirkan Al-Qur’an orang tidak boleh berpikir seenaknya sendiri dan menyimpang dari pengertian-pengertian yang ada didalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Agar kita tidak terperosok kedalam penafsiran yang salah tentang ayat An-Najm:39 itu, baiklah kami ketengahkan lagi pendapat beberapa ulama mengenai persoalan yang ada kaitannya dengan pengertian ayat tersebut.

A.  Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut, garis besarnya antara lain:
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun akan memperoleh banyak kawan dan sahabat, menikahi istri dan melahirkan anak, melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta serta suka padanya.. Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta padanya itu bila wafat akan memperoleh manfaat dari doa para sahabat dan kawan-kawannya tersebut (umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan sebagainya—pen). Dalam satu penjelasan Allah swt juga menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukiminin adalah sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).

2. Ayat Al-Qur’an tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al-Qur’an hanya menafi kan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah swt hanya menfirmankan bahwa 'orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendiri'. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh memberikannya kepada orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.(jadi pada kata kata lil-insan pada ayat itu adalah lil-istihqaq yakni menunjukkan arti ‘milik‘). Beginilah dua jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah.
Jadi ayat An-Najm:39 menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammada saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi, yang artinya: 'Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Musa dan Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya'.

B.  Menurut ahli tafsir Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat An-Najm : 39 mengatakan : 

                                         اَلْحَقُنَابِهِم               هَذَا مَنْسُوْخُ الحُكْمِ فِي هَذِهِ الشََّرِيْعَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى
    
                                     ذُرِّيَّتَهُمْ فَاُدْخِل الأَبْنَاءُ الجَنَّةَ بِصَلاَحِ الآبَاءِ                                                              

Artinya: “Ini (ayat) telah dinaskh (dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang beriman) kedalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir Khazin jilid 4/223).  
         
Firman Allah swt yang dimaksud oleh Ibnu Abbas sebagai pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat At-Thur ayat 21 yang artinya sebagai berikut: 
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.  (At-Thur ayat 21) .

Dengan demikian menurut Ibnu Abbas surat An-Najm; 39 itu sudah dikesampingkan hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.

Kalau kita baca ayat At-Thur ini menunjukkan bahwa amalan-amalan datuk-datuk kita yang beriman, yang telah wafat bisa memberi syafa’at bagi kerabatnya yang beriman, yang masih hidup. Nah, bukan hanya amalan-amalan orang yang hidup saja yang bisa bermanfaat bagi si mayyit, tetapi orang yang beriman yang telah wafatpun bisa memberi syafa’at.Tidak lain ini semua menunjukkan Rahmat dan Karunia Ilahi yang sangat luas sekali. 

C. Dalam Nailul Authar jilid 4/102 disebutkan: Bahwa kata-kata 'Tidak ada bagi seseorang itu....' maksudny ialah 'tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.

D.  Al-Jalalain (yaitu Jalaluddin Al-Hamali dan Jalaluddin As-Sayuthi) dalam tafsirnya mengenai ayat An-Najm:39 antara lain mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘apa yang telah diusahakan’ (maa sa’aa) pada ayat tersebut ialah; hal-hal yang berupa kebajikan. (dengan demikian) Manusia tidak memperoleh suatu apa dari hal-hal yang bukan kebajikan”.

Sebagai uraian terhadap tafsir Al-Jalalain itu, Syeikh Sulaiman bin Umar Al-Ajili terkenal dengan nama Al-Jamal  menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, yaitu ayat An-Najm:38 yang menegaskan; ‘Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain’ . Al-Jamal mengatakan, karena dosa orang lain tidak menjadi beban orang yang tidak melakukan perbuatan salah.
Lebih jauh Al-Jamal menerangkan penafsiran ayat An-Najm:39 itu harus dikaitkan dengan ayat At-Thur:21, yaitu firman Allah: ‘Dan orang-orang  yang beriman, yang anak cucu keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan, mereka ini (anak cucunya) akan Kami susulkan/kumpulkan kepada mereka (orang-orang yang beriman). sedikit pun Kami tidak mengurangi pahala amal perbuatan mereka’. Selain itu, penafsiran ayat An-Najm:39 harus dihubungkan pula dengan hadits-hadits nabi saw, antara lain hadits yang mengatakan: ‘Apabila seorang anak Adam wafat, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara; Ilmu bermanfaat (yang ditinggalkan), shadaqah jariyah dan anak sholeh yang berdoa untuknya (orang tuanya)’. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat tersebut dinaskh (mansukh, terkesampingkan) oleh ayat At-thur:21. 
Sebagai dalil/hujjah ia mengemukakan ayat At-Thur:21 itu bersifat pemberitaan dari Allah swt. Semua ayat yang bersifat pemberitaan tidak terkena naskh (tidak mansukh). Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa ayat An-najm:39 itu pada hakikatnya semakna dengan hadits terakhir tersebut diatas. Sebab jika dipikirkan secara mendalam apa sebab anak yang sholeh berdoa untuk orang tuanya, sesungguhnya itu merupakan hasil amal kebajikan orang tua yang mengasuhnya dengan baik sejak kecil. Jadi berarti orangtua memetik hasil usahanya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebajikan atau amal sholeh yang dilakukan oleh seseorang dapat mendatangkan manfaat atau pahala bagi orang lain. Hal ini dibenarkan oleh hadits-hadits shohih yang menerangkan bahwa para Nabi dan orang-orang sholeh atas izin Allah swt. dapat memberi pertolongan (syafaat) kepada orang lain. Barangsiapa yang memikirkan dan merenungkan nash-nash Al-Qur’an dan hadits mengenai persoalan itu, ia akan menemukan banyak pengertian tentang kenyataan itu. Karenanya, tidaklah semestinya kalau ayat An-Najm:39 itu ditafsirkan terlepas dari kaitan ayat-ayat lain dan hadits-hadits Nabi saw. (termasuk hadits-hadits pahala haji, sedekah, hutang dan lain-lain red.). Sesuatu yang kelihatannya bersifat umum ternyata mengandung banyak kekhususan.

Didalam tafsir Khazin dan hadits-hadits Ibnu Abbas ra, terdapat dalil-dalil madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan lain-lain yang mengatakan; bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil (sebelum akil-baligh) adalah sah, dan anak itu mendapat pahala, walau pun ibadah haji baginya belum merupakan ibadah wajib, tetapi hanya bersifat tathawwu’ (mustahab). Imam Abu Hanifah mengenai soal itu berpendapat, bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil tidak dapat dipandang sah sebagai penunaian rukun Islam, tetapi hanya sekedar latihan ibadah saja. Demikian pula mengenai shodaqah yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang telah wafat.
Mengenai soal itu para ulama bersepakat bulat bahwa pahala shodaqah itu diterima oleh orang yang telah wafat. Begitu juga soal doa, pelunasan hutang, ibadah haji dan puasa yang diperuntukkan/diniatkan (pahalanya) untuk orang yang telah wafat.
Akan tetapi mengenai soal puasa bagi orang yang telah wafat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian memandang sah puasa yang dilakukan secara tathawwu’ bagi orang lain yang kedahuluan wafat sebelum sempat memenuhi kewajiban puasa yang tertinggal. Sebagian yang lainnya memandang puasa seperti itu tidak sah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an pahalanya tidak dapat sampai kepada orang yang telah wafat (baca uraian sebelumnya mengenai pendapat imam syafi' i dan  fatwa para ulama syafi'iyah). Akan tetapi para ulama sahabat Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pembacaan Al-Qur’an pahalanya dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dalam hal itu Imam Ahmad bin Hanbal sependapat dengan para sahabat Imam Syafi’i. Begitu juga mengenai sholat sunnah yang diperuntukkan bagi orang yang telah wafat, Imam Syafi’i dan para ulama lainnya sependapat, bahwa pahalanya tidak dapat diterima oleh orang yang telah wafat. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, semua ibadah sunnah yang di peruntukkan bagi orang yang telah wafat, pahalanya dapat sampai kepadanya. 

Mari kita rujuk pendapat Ibnu Taimiyah ulama yang diandalkan oleh golongan pengingkar dalam tafsir Jamal jilid 4 bahwa beliau berkata : “Barangsiapa meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah batil ”. 
Sebagai dalil/hujjah Ibnu Taimiyah menguraikan keterangan-keterangan secara rinci masalah ini (antara lain yang tertulis dalam kitab Al-Futuhatul Ilahiyyah hal.235 sampai hal. 237) mengatakan:
a. Kisah dua anak yatim dari orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal kebajikan dua anak yatim itu sendiri.

b. Rasulallah saw menangguhkan sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan bahwa manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain.

c.Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil ( yang belum baligh) yang menjadi tanggungan orangtua atau walinya. Hal ini merupakan ketentuan syara’ yang mengandung pengertian, bahwa manfaat pahala yang diperoleh anak itu datang dari amal kebajikan orang lain yang menginfakkan zakat tersebut, bukan dari amal dan usaha anak itu sendiri.--Wajib zakat yang dikenakan atas harta kekayaan anak yang masih kecil (harta waris peninggalan orangtuanya), atau yang dikenakan atas harta kekayaan orang yang sakit ingatan ini semua merupakan petunjuk bahwa mereka itu dapat memperoleh pahala dari zakat yang dikeluarkan dari hartanya. Sekalipun mereka itu tidak mempunyai kesanggupan berpikir dan beramal, tetapai dengan hartanya yang diatur dan dilakukan orang lain mereka memperoleh pahalanya

d.Nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi saw. akan memberi syafa’at terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka. Ini semua berarti seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain.

e.Anak-anak orang mukmin (yang wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang lain. (QS at-Thur : 21--pen.).

f.Orang yang duduk dengan ahli dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah, baca haditsnya pada bab Faedah majlis dzikir di buku ini--pen).

g. Shalat untuk mayyit (baca: sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah pemberian syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.

h. Alllah swt berfirman pada Rasulallah saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa  mereka sedangkan engkau masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukmin dan wanita-wanita yang mukmin..’  (Al Fath: 25). ‘ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam ayat-ayat ini Allah swt mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.) terhadap sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini juga termasuk pengambilan manfaat dengan amalan orang lain.

Jelaslah bahwa pahala bukan dari amal atau usaha mereka sendiri, melainkan berkat amal dan bantuan orang lain.Tidak diragukan lagi, barangsiapa yang mau berpikir mendalami persoalan seperti sampai sekecil-kecilnya, ia pasti akan menemukan banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa manfaat dapat diperoleh dari kebajikan, amal dan usaha orang lain. Setelah kesemuanya ini terang dan jelas, lantas bagaimanakah kita hendak menafsirkan ayat suci itu (An-Najm:39) dengan pengertian yang berlainan dari makna seluruh Al-qur’an dan sunnah Rasulallah saw, serta ijma’ umat nabi Muhamad saw? 
Demikianlah sebagian alasan-alasan yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan manfaat dari amalan-amalan orang lain untuk si mayit. Sebenarnya masih banyak lagi alasan Ibnu Taimiyah mengenai ini tapi kami tidak cantumkan semua disini.

Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :   
“Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw. menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah lebih utama”. 

Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan dhohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits shohih yang akan ditentang oleh ayat tersebut, sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai lagi. Wallahua'lam. 

3.  Dalil lainnya dari golongan pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286, yang artinya:

“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.

Mereka ini berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.

Pengertian yang seperti itu adalah tidak benar sekali ! Karena dalam ayat itu juga tidak menafikan seseorang akan mendapatkan manfaat dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan: Seorang akan memperoleh harta dari usahanya sendiri. Ucapan ini bukan berarti dia tidak bisa memperoleh harta yang bukan dari usahanya sendiri, karena bisa saja dia memperoleh harta dari warisan orang tuanya, pemberian hadiah dari orang lain. Lain halnya kalau ayat diatas mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi- nya sebagai berikut :         
 اِلاَّ مَاكَسَبَتْ                                     لَيْسَ لَهَا    
"Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia usahakan”.

Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk kembali kolom nr. 2 diatas . 

4.  Mereka juga berdalil pada firman Allah swt. dalam surat Yaasin ayat 54, yang artinya :

“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.

Dengan berdalil dengan ayat ini mereka meniadakan pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak tepat sekali karena dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafi- kan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :

“Pada hari dimana seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.

Dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab kejahatan orang lain, jadi bukan berarti seseorang tidak bisa memperoleh pahala sebab amal kebaikan orang lain (baca Syarah Thahawiyah hal. 456).

Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk keterangan jawaban kolom nr. 2 diatas .  

5.  Golongan pengingkar ini juga berkata bahwa membaca Al-Qur’an untuk mayit tidak dikenal dan tidak diamalkan oleh para salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi saw. lalu mengapa hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata mereka:  Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayit. Mengapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir terlebih dahulu…”.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab Bid'ah diwebsite ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan bacaan para sahabatnya tambahan bacaan dalam sholat yang diamalkan oleh sahabat beliau saw, yang mana amalan bacaan tersebut tidak pernah adanya petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta tidak pernah sesudahnya di perintahkan oleh beliau saw.!
Tidak ada petunjuk Nabi saw. atau tidak diamalkan oleh para salaf bukanlah sebagai satu dalil atau hujjah untuk melarang dan mengharamkan hal tersebut, apalagi mereka  memutuskan bahwa pahala bacaan tersebut tidak akan sampai pada si mayyit!!
  
Pikiran dan pertanyaan semacam diatas ini juga bukan sebagai dalil atau hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan. Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya pahala haji, puasa dan do’a, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Janganlah kita membatasi sendiri Rahmat Ilahi, karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!

“Rasulallah saw. waktu itu ditanya mengenai haji untuk orang yang sudah wafat, puasa untuk orang yang sudah wafat dan sedekah untuk orang yang sudah wafat, beliau mengizinkan semuanya ini dan amalan-amalan tersebut akan sampai pada si mayit serta beliau saw. tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala bacaan dan dzikir (yang di-iringi dengan niat juga)?” ( Syarah  Aqidah Thahawiyah hal.457).

Orang yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan dzikir, sudah tentu akan mendapat pahala, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkan pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pahala itu adalah hak milik orang yang berdzikir, kemudian dia berdo’a kepada Allah swt agar pahala yang dimiliki itu disampaikan kepada orang yang sudah wafat baik itu orang tuanya, sanak kerabatnya atau orang lain. Dalam hal ini apanya yang dilarang…?

– Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101 bersabda:

      فَإِذَاجَازَ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِمَا لَيْسَ لِلدَّاعِي فَلأنْ يَجُوْزَ بِمَاهُوَا لَهُ أوْلَى                      

Artinya: “Kalau boleh berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka tentu kebolehan berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendo’a (yaitu pahala)adalah terlebih utama”.

Jadi kita dibolehkan do’a apa saja kepada Allah swt. walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri umpamanya ‘Ya Allah berikanlah pada dia seorang keturunan yang sholeh, rizki yang makmur dan kesuksesan’ . Do’a seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang yang berdo’a untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dimiliki yaitu pahala, malah justru dilarang ?

– Hadits dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika menyalatkan jenazah– : ‘Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka’. (HR Muslim).

Diterima dari Waila bin Asqa’ katanya; Nabi saw. menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka saya dengar beliau mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si Anu adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari bencana kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji dan Penegak kebenaran. Ya Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan Abu Daud)

Rasulallah saw. yang mengajarkan pada kita bacaan do’a dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat yang mana isi do'a tersebut belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a sendiri dan do’a ini toh akan bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya atau keistemewaannya Rasulallah saw. mengajarkan dan menganjurkan agar muslimin membaca do'a-do'a tersebut pada sholat jenazah kalau semuanya tidak ada manfa'at/syafa'at untuk mayyit ? Wallahu a'lam.

Mari kita rujuk dalil-dalil hadiah pahala amalan yang bisa sampai kepada mayyit, diantaranya adalah :   

Pahala sedekah untuk orang yang sudah wafat.


– Hadits dari Abu Hurairah :


عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) أنَّ رَ جُلاً قَالَ لِلنَّبِي.صَ. : أنَّ أبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوْصى فَهَلْ يكفرعَنْهُ أنْ أتَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَال َنَعَمْ  

“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah  saw.: ‘Ayah saya meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan ?’ Nabi saw. menjawab : Dapat!”  (HR Ahmad, Muslim dan lain-lain)

– Hadits dari Aisyah r.a.berkata:

عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا أنَّ رَجُلاً أتَى النَّبِى.صَ.  وَقَالَ: إنَّ أمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَم تُو ص
 وَأظُنُّهَا لَو تَكَلَّمت تَصَدَّقَتْ اَفَلهَا اَجْر إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ                            
  
‘Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab Nabi saw: Ya.’  (HR.Bukhori, shohih Muslim jilid XI halaman 83-84 dan Nasa’i).

Imam Nawawi dalam syarah muslimnya jilid XI halaman 84 mengatakan: 'Dalam hadits ini  dinyatakan bahwa boleh bersedekah menggantikan orang yang telah wafat, bukan saja boleh tetapi dianjurkan, dan pahala sedekah sampai kepada mayat dan beruntung juga untuk orang yang bersedekah. Hal ini sebagai ijmak fatwa orang islam.
Nah, memperhatikan perkataan imam Nawawi ,yang sudah terkenal ilmu dan pribadinya, maka orang yang mengatakan tidak  ada hadiah pahala maka menyalahi ijmak umat islam.

– Artinya: Hadits dari Sa’ad ibnu Ubadah ra. bahwa ia pernah berkata : “Wahai Rasulallah, sesungguhnya Ummu Sa’ad telah meninggal dunia, kiranya sedekah apa yang lebih utama untuknya?” Sabda beliau saw.: ‘Air ‘. Maka Sa’ad menggali sebuah sumur, kemudian ia berkata: “Sumur ini aku sedekahkan untuk Ummu Sa’ad”. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i).

– Dari Ibnu Abbas (rah). dia berkata :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: تُوُفِّيَتْ أمُّ سَعْدِ ابْنِ عُبَدََةَ وَهُوَغَائِبُ عَنْهَا       
 فـَقَالَ يَا رَشُول الله إنَّ أمِّى تُوُفِّيَتْ وَاَنَاغَائِبٌ عَنْهَا أيَنفَعُهَا شَيْئٌ إنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنـْهَا؟
 قـَالَ نَعَمْ, قَالَ فَإنِّي أشْهِدُكَ أنْ حَائِطي المِخْرَافُ صَدَقَةٌ عَنْهَا.                           

Artinya: “Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia : ‘Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ibuku telah wafat disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan ? Nabi menjawab; Ya ! Berkata Sa’ad bin Ubadah : Saya persaksikan kepadamu (wahai Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah untuknya’.”  (HR Bukhori, Turmudzi dalam shohihnya jilid III halaman 175 dan Nasa’i).
Hadits ini jelas amalan orang yang hidup bermanfaat kepada yang telah wafat. Seorang anak bisa mewakafkan/sedekahkan kebunnya dan menghadiahkan pahalanya ke orangtuanya.                                                    
Hadits-hadits dan wejangan para ulama yang tercantum dalam bab ini  jelas menunjukkan bahwa amalan-amalan sedekah orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah wafat akan dapat membawa manfaat dan sampai pahalanya baginya.

Pahala Puasa dan Sholat.


– Hadits dari Aisyah ra. Rasulallah saw. bersabda:

عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا عَنِ النَّبِى قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَام, صَامَ عَنْهُ وَلِيُّـهُ.
                                                                                               
‘Barang siapa yang wafat  dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka walinya berpuasa untuknya’. (Yang dimaksud wali disini yaitu kerabat- nya walaupun bukan termasuk ahli waris).   (HR.Bukhari, Muslim lihat syarah Muslim jilid VIII halaman 23, Abu Daud dan Nasa’i ).

Hadits ini jelas amalan orang yang hidup bisa bermanfaat kepada orang yang telah wafat. Hadits ini menerangkan seorang yang wafat masih punya hutang puasa maka walinya harus membayarnya dengan puasa pula. Dengan demikian pahala puasa seseorang boleh diberikan kepada orang lain guna pembayar hutang kepada Allah swt.
Imam Nawawi mengomentari hadits ini, yang dimaksud wali disini ialah ashabah (karib kerabat) , ahli waris atau lain-lain.

– Hadits dari Ibnu Abbas :

جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِى.صَ. فَقَالَ: يَا رَسُول الله انَّ أمِّي مَا تَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمَ شَهْر فَأقـْضِيهِ عَنْهَا ؟
 قَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أمِّكَ دَيْن أكَنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ؟ قَالَ: نَعَم, قَالَ: فَدَيْنُ الله أحَقُّ أنْ يُقْضَى.       
  
“Seorang lelaki datang menemui Rasulallah saw. ia berkata : ‘Ya Rasulallah, ibuku meninggal dunia, sedang ia mempunyai kewajiban berpuasa selama sebulan. Apakah saya wajib kadha atas namanya?’  Nabi saw. berkata;  Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, apakah akan kamu bayarkan untuknya? ‘Benar’ jawabnya. Nabi berkata, maka hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayar!” (HR.Bukhori dan Muslim)

– Hadits riwayat Daruquthni : 

أنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُول الله انَّهُ كَانَ لِى أبَوَان أبِرُّهُمَا فِي حَيَاتِهِمَا فَكَيْفَ لِي بِبِرّهِمَا بَعْدَ مَوتِهَِا ؟ 
 فَقَـالَ  : انَّ مِنَ البِرِّ بَعْدَ المَوْتِ أنْ تُصَلّيَ لَهُمَا مَعَ صَلاَتِـكَ, وَأنْ تَصُومُ لَهُمَا مَعَ صيَاْمِكَ                                                                           
                                                                        
“Bahwa seorang laki-laki berkata : ‘Ya Rasulallah, saya mempunyai ibu dan bapak yang selagi mereka hidup saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?’ Jawab Nabi saw : Berbakti setelah mereka wafat ! , caranya adalah dengan melakukan sholat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu !”.

Pahala Haji.  

عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـمَا انَّ امْرَأةَ مِنْ جُهَيْنـَةِ جَائَتْ الَى النَّبِى .صَ.   فَقَالَتْ: انَّ أمّي نَذَرَتْ
 انْ تُحِجَّ فَلَـمْ تَحِجْ حَتَّى مَاتَتْ أفَأحِجَّ عَنْهَا؟ قَالَ  : حجِّي عَنْهَا, لَوْ كَانَ عَلَى أمّـِك دَيْن أكَنْت قَاضِيـتَهُ ؟
 اُقْضـُوا فَالله اَحَقُّ بِالقَضَاءِ. وَفِى روايَةِ : فَالله اَحَـقُّ بِالوَفَـاءِ                                               
                                                                                          
Artinya: Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya: ‘Sesungguhnya ibuku nadzar untuk haji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukan haji untuknya? Rasulallah saw. menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya?, bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar’. (HR Bukhari dan lain-lain, lihat fathul Bari jilid IV halaman 437). 
Hadits ini  menunjukan bahwa pahala amalan haji seorang anak bisa diberikan kepada ibunya yang nadr dan wafat sebelum melakukan nadrnya.

Pada hadits ini Nabi saw memberi perintah agar membayar haji ibunya yang sudah wafat. Namun bila si mayit tidak memiliki harta, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk menghajikannya. Apabila alasan sesuatu atau lainnya sehingga hal ini tidak bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh dilimpahkan kepada orang lain, dengan syarat orang ini sendiri harus sudah menunaikan haji, bila belum maka haji yang dikerjakan tersebut berlaku untuk dirinya. Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji.  
Dalilnya ialah hadits dari Ibnu Abbas : 
“Bahwa Nabi saw.pernah mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum!  Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ”. (HR.Abu Daud, lihat sunan Abu Dawud jilid II halaman 162 dan lain-lain).
Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah haji seseorang, yang tidak bisa melaksanakan haji dengan alasan sudah tua,sudah wafat dan lain-lain yang dibolehkan oleh syariat, boleh digantikan orang lain yang bukan kerabatnya. Hadits inilah yang menjadi dalil bagi ahlus sunnah wal jamaah untuk membayar seseorang untuk mengerjakan haji wajib bagi orang yang telah wafat dengan syarat yang mengerjakan haji ini harus sudah haji.

– Hadits dari Abdillah bin Buraidah dari ayahnya (Buraidah) ra, ia bekata: “Pada ketika kami sedang duduk dekat Rasulallah datang seorang wanita bertanya; Aku bersedekah seorang jariyah kepada ibuku, tetapi ia wafat setelah itu. Jawab Nabi; kamu dapat pahala disisi Tuhan tetapi jariyah itu kembali kepadamu dengan hak harta peninggalan. Kemudian ia bertanya lagi; Ibuku berhutang puasa satu bulan bagaimana itu? Jawab nabi ; Puasalah menggantikandia. Dia belum pernah naik haji,tanya wanita itu lagi. Jawab Nabi; Naik hajilah engkau menggantikan dia”. (HR.imam Muslim dalam shohihnya jilid VIII halaman 250 dan shohih Turmudzi jilid III halaman 173).
Hadits ini jelas bahwa seorang wanita dapat menggantikan ayahnya yang sudah tua untuk pergi haji dan amal ini dapat membebaskan ayahnya dari kewajiban ibadah haji.

Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu hidupnya dan setelah wafatnya.  
Demikian juga Rasulallah saw. menganjurkan puasa untuk menggantikan puasa orang yang telah meninggal. Rasulallah saw. menghadiahkan pahala qurban untuk keluarga dan ummatnya yang tidak mampu berqurban, padahal qurban adalah melalui menumpahkan darah.

Ibadah haji merupakan ibadah badaniyah (bagi yang dekat). Harta bukan merupakan rukun dalam haji tetapi sarana. Hal itu karena seorang penduduk Makkah wajib melaku kan ibadah haji apabila ia mampu berjalan ke Arafah tanpa disyaratkan harus memiliki harta. Jadi ibadah haji bukan ibadah yang terdiri dari harta dan badan, namun ibadah badan saja (bagi yang mampu berjalan). Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiah- kan pahala itu mustahab/boleh, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberi- kan kepada orang lain jika ia mau.

Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur'an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur'an yang berupa perbuatan dan niat juga?  
Hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do'a orang Islam dapat bermanfa’at untuk orang Islam lain. Al-Qur'an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah milik nya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya, sebagaimana dalam pembebasan utang.

Allah swt. menjelaskan bahwa Dia tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan Allah swt..

Menurut madzhab Hanafi, setiap orang yang melakukan ibadah baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian dan ia berniat menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepada mereka dan juga akan diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah, Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Didalam kitab Al-Kamal terdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu.

Didalam sebuah hadits shahih yang keshahihannya setaraf dengan hadits mutawatir menuturkan, bahwa barangsiapa meniatkan amal kebajikan bagi orang lain, dengan amal kebajikannya itu Allah swt. berkenan memberikan manfaat kepada orang lain yang diniatinya. Hal ini sama dengan hadits mengenai shalat dan puasanya seorang anak untuk kedua orang tuanya, yang dilakukan bersama shalat dan puasanya sendiri. Begitu juga masih banyak hadits shahih dan mutawatir yang berasal dari Rasulallah saw., berita-berita riwayat terpercaya, pendapat-pendapat para ulama baik dari kalangan kaum Salaf dan Khalaf yang menerangkan dan membenarkan bahwa pahala membaca Al-Qur’an, do’a dan istiqhfar yang diniatkan pahalanya untuk orang yang telah wafat benar-benar akan sampai kepada orang yang telah wafat itu.

Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain yang dilakukan orang yang masih hidup baginya. Ia (si mayyit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.

Dengan adanya hadits-hadits dan wejangan para pakar baik dalam Ijma’ maupun Qiyas yang cukup banyak pada buku ini, insya Allah jelas bagi kita bahwa penghadiahan pahala baik itu membaca Al-Quran, tahlilan, do’a maupun amalan-amalan sedekah yang ditujukan atau dihadiahkan untuk si mayit, semuanya akan sampai pahalanya. Ingat jangan lupa Rahmat dan Karunia Ilahi sangat luas sekali jangan kita sendiri yang membatasinya!
Sebenarnya satu dalil saja yang shohih dan belum dihapus/mansukh sudah cukup , tidak perlu banyak-banyak karena orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak membutuhkan dalil yang banyak cukup satu  Mereka tidak akan menolak hadits Nabi saw. Sesuai dengan firman Allah swt dalam- surah Al-Hasyr:7 yang artinya: ‘apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, hendaklah kamu terima, dan apa yang dilarangnya hendaklah kamu hentikan.  ‘ 
Nah, kalau ada orang berfatwa bahwa  hadiah pahala tidak boleh maka ia menentang hadits-hadits Rasulalallah yang telah kami kemukakan.

Setelah membaca keterangan-keterangan dan  dalil-dalil yang telah di kemukakan, insya Allah  saudara-saudara kita yang menerima kesalahan informasi tersebut bisa menjawab dan meneliti sendiri masalah-masalah yang masih diragukan !

Keterangan singkat mengenai Sholat jenazah yang Ghaib

Sholat ghaib ialah sholat untuk mayit yang tidak hadir (ghaib) disitu yakni yang berada diluar kota atau negeri lain. Biasanya di Indonesia dikerjakan seusai sholat Jum’at pada masjid-masjid Syafi’iyyah. Cara melakukan sholat ghaib ini sama seperti apa yang dilakukan dalam sholat jenazah hanya diniatkan untuk mayit yang ghaib. Sholat ini pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw yaitu pada waktu wafatnya Najasyi Raja Habsyi.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Jabir ra: “Bahwa Nabi saw menyalatkan Najasi (Raja Habsyi), maka beliau membaca takbir empat kali”. Dan hadits Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra: “Bahwa Nabi saw mengumumkan wafatnya Najasi kepada khalayak ramai pada hari ia wafat, dan pergi bersama mereka (para sahabat) menuju kelapangan. Maka dibariskannya para sahabatnya, dan disholatkannya dengan empat kali takbir”. 

Ibnu Hazm berkata: “Mayat ghaib itu dishalatkan secara berjama’ah dengan memakai imam. Rasulallah saw telah menyalatkan Najasyi ra yang wafat di Habsyi bersama para sahabat yang berdiri bershaf-shaf. Ini merupakan ijma/yang tidak dapat dipungkiri”.Ini sudah cukup sebagai dalil bahwa sholat ghaib pernah diamalkan oleh Rasulallah saw dan tidak ada satu haditspun yang melarang orang sholat Ghaib, dengan demikian bahwa sholat ghaib adalah termasuk sunnah Rasulallah sawoleh

Dalam kitab fiqih lima madzhab oleh Jawad Mughniyah, disitu ditulis bahwa Imam Syafi'í dan Imam Ahmad membolehkan sholat ghaib dengan dalil hadits diatas ini, tetapi Imam Malik, Imam Hanafi tidak membolehkan sholat ghaib dengan alasan; Bahwa sholat gaib waktu itu khusus untuk Rasulallah saw atau khusus untuk Najasi, dan setelah itu beliau saw tidak pernah sholat ghaib terhadap kematian para sahabat walaupun mereka jauh dari Nabi saw.
Dengan demikian orang yang mengamalkan sholat ghaib adalah mengikuti hadits Rasulallah saw dan wejangan para imam diantaranya Imam Syafi'í, para ulama madzhab Syafi'i dan Imam Ahmad -radhiyallahu'anhuma-. Wallahua'lam

Membangun masjid disisi kuburan 

Salah satu keyakinan Ahlusunah yang mempunyai dasar dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan prilaku Salaf Sholeh –yang dituduhkan sebagai perilaku syirik oleh kelompok Wahabi– adalah tentang diperbolehkannya membangun masjid disisi kuburan para Rasul, nabi dan waliyullah. Golongan pengingkar melarang hal ini, sebagaimana yang di nyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah –yang kemudian di-ikuti (secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahabi– yang tercantum dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah hal. 22.   

Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi melarang menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdo’a di sisi kuburannya, walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu dikarenakan tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan syirik. Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan do’a dan shalat untuk ahli kubur dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu maka membangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram. Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan seseorang kedalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram”.   

Apa dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah diatas? Memang Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Ahlus- sunah. Namun sayangnya beliau tidak memiliki analisa dan penerapan yang tepat dan bagus dalam memahami hadits-hadits tadi sehingga menyebabkannya terjerumus kedalam kejumudan (kekakuan) dalam menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap hadits-hadits tadi terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an, as-Sunnah dan perilaku Salaf Sholeh.  

Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tersebut dengan hadits-hadits sebagai berikut :  
Pertama:
Rasulallah bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111 dalam kitab al-Jana’iz (jenazah-jenazah), hadits serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 871 kitab al-Jana’iz) .
Kedua:
Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulallah dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (gereja) yang pernah dilihatnya di Habasyah, lantas Rasulallah bersabda: “Mereka adalah kaum yang setiap ada orang sholeh dari mereka yang meninggal niscaya mereka akan membangun tempat ibadah diatasnya dan mereka pun menghadapkan mukanya ke situ. Mereka di akhirat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. ( Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid) 
Ketiga:
Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku mendengar lima hari sebelum Rasulallah meninggal, beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Namun janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada kalian”. (lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman 378)  
Keempat:
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat kepada Allah swt dengan mengatakan: “Ya Allah, jangan Kau jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 246)  

Ini adalah riwayat-riwayat yang dijadikan dalil para pengikut Wahabi/Salafi untuk mengatakan syirik terhadap kaum Ahlusunah –termasuk di Indonesia– yang ingin membangun masjid disisi kubur para kekasih Allah (waliyullah). Di Indonesia para sekte Wahabi tadi mengejek dan menghinakan kuburan para sunan (dari Wali Songo) yang rata-rata disisi makam mereka terdapat bangunan yang disebut masjid. Lantas apakah benar bahwa hadits-hadits itu mengandung larangan pembuatan masjid disisi kubur para waliyullah secara mutlak? Disini kita akan telaah dan kritisi cara berdalil kaum Wahabi dalam menggunakan hadits-hadits shohih tadi sebagai sandarannya. 

Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam mengkritisi dalil kaum Wahabi yang menjadikan hadits-hadits diatas sebagai pelarangan pembangunan masjid disisi makam waliyullah secara mutlak: 

a. Untuk memahami hadits-hadits tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan/niat kaum Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia sholeh mereka tadi. Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani dalam membangun tempat ibadah di sisi kuburan itu maka keluarlah larangan Rasulallah. Dari hadits-hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Kepada kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud (sebagai kiblat dan beribadah yang ditujukan pada penghuni kubur itu --pen.). Hakekat perilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasulallah Muhammad saw.  

Jadi jika seorang muslim membangun masjid disisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah (baca bab Tabarruk—pen.) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan shalat tidak ada niatan sedikit pun untuk menyembah kubur tadi maka hal ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits di atas tadi, terkhusus hadits dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur manusia sholeh dari mereka sebagai tempat ibadah. 

Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadits tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud dan menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum muslimin dilarang untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini merupakan perbuatan syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba sholeh dengan niatan ber-tabarruk (mencari berkah) maka pelarangan hadits tadi tidak dapat diterapkan padanya”.  
Hal serupa juga dinyatakan oleh As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 41 dimana ia menyatakan: “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan (pada kuburnya) maupun arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu ibadah”. 

b. Sebagian hadits di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid diatas kuburan, bukan disisi (disamping) kuburan. Letak perbedaan redaksi inilah yang kurang diperhatikan oleh kaum Wahabi dalam berdalil. 

c.  Begitu juga tidak jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) dalam hadits itu menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadits-hadits itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram.  

Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat as-Saniyah halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam menjelaskan hadits diatas tadi mengatakan: “Hadits tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak melakukan ibadah diatas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan (menyembah) kubur mereka. Ini terjadi jika posisi kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka melaksanakan shalat di situ tidak haram hukumnya”. 

Begitu pula apa yang dinyatakan oleh salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermadzhab Hanafi yang bernama Abdul Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan:   
“Jika sebuah masjid dibangun di sisi kuburan (makam) orang sholeh ataupun di samping kuburannya yang hanya berfungsi untuk mengambil berkahnya saja, tanpa ada niatan untuk mengagungkannya (maksud: menyembahnya) maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kuburan Ismail as terletak di Hathim di dalam Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat”. 

Allamah Badruddin al-Hautsi pun menyatakan hal serupa dalam kitab Ziarah al-Qubur halaman 28: “Arti dari mejadikan kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan”. 

d. Bahkan terbukti bahwa at-Tabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir jilid 3 halaman 204 menyatakan bahwa di dalam masjid Khaif (di Mina dekat Makkah .red) terdapat delapan puluh makam para nabi, padahal masjid itu telah ada semenjak zaman Salaf Sholeh. Lantas kenapa para Salaf Sholeh tetap mempertahankan berdiri tegaknya masjid tersebut. Jika itu merupakan perbuatan syirik (haram) maka selayaknya sejak dari dulu telah dihancurkan oleh Rasulallah besrta para sahabat mulai beliau.  

Dalil lain yang dijadikan oleh kaum Wahabi/Salafi –terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah–  adalah kaidah Sadd adz-Dzarayi’ dimana kaidah itu menyatakan: 

“Jika sebuah perbuatan secara dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan melalui perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin akan terjerumus kedalam perbuatan haram maka untuk menghindari hal buruk tersebut agar orang tadi tidak terjerumus ke dalam jurang tersebutperbuatan itupun lantas dihukumi haram”. (lihat kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman 148).  
Dalil diatas itu secara ringkas dapat kita jawab bahwa; Dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya mukadimah untuk pelaksanaan perbuatan wajib yang menjurus secara langsung kepada kewajiban itu saja yang juga dihukumi wajib” seperti kita tahu kewajiban wudu' karena ia merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib. Begitu juga dengan “mukadimah yang menjurus langsung kepada hal haram, hukumnya pun haram”, jadi tidak mutlak berlaku untu semua mukadimah.
Atas dasar ini maka membangun masjid disisi kuburan manusia mulia (para nabi atau waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik, maka tidak menjadi apa-apa (boleh). Dan terbukti mutlak bahwa mayoritas mutlak masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut dengan niatan penghambaan terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan Allah/Syirik). Kalaupun ada seorang muslim yang berniat melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang (minim) sekali (dan dosanya ditanggung orang ini karena kita tidak bisa mengharam kan pembangunan masjid disisi kuburan disebabkan perbuatan perorangan/ individu ini--pen). 

Dalil inti yang dapat dijadikan argument diskusi dengan pengikut Wahabi dalam masalah pelarangan membangun masjid di sisi makam para manusia Sholeh adalah ayat dan perilaku Salaf Sholeh. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa dalil saja untuk meringkas pembahasan.  

– Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi disebutkan: “Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “dirikanlah sebuah bangunan diatas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan diatasnya”. 
Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid disisi makam para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahabi pun sepakat dengan kaum muslimin lainnya bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt menyindir dan mencela hal itu dalam lanjutan kisah al-Qur’an tadi, karena syirik adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti Allah swt tidak melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak langsung (sindiran). 

Atas dasar itu pula terbukti para ulama tafsir Ahlusunah menyatakan, bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt., bukan kaum musyrik penyembah kuburan (Quburiyuun). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir al-Kassyaf jilid 2 hal. 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21 hal. 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith dalam menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir Abi Sa’ud jilid 5 hal. 215.  

– Sebagai penutup akan kita lihat perilaku Salaf Sholeh yang dalam hal ini diwakili oleh Abu Jundal salah seorang sahabat mulia Rasulallah. Para Ahli sejarah menjelaskan peristiwa yang dialami oleh Abu Jundal dengan menyatakan:
“Suatu saat, sepucuk surat Rasulallah sampai ke tangan Abu Jundal. Kala surat itu sampai, Abu Bashir (juga sahabat mulia Rasulallah yang menemani Abu Jundal .red) tengah mengalami sakaratul-maut (naza’). Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat Rasulallah. Kemudian Abu Jundal mengebumikan beliau (Abu Bashir .red) di tempat itu dan membangun masjid diatasnya”.
Kisah ini dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 hal.334 dan atau kitab al-Isti’ab jilid 4 hal. 21-23 karya Ibnu Hajar.  

Apakah mungkin seorang sahabat Rasulallah seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, mengapa Rasulallah saw. sendiri atau para sahabatnya tidak menegurnya? Apakah Rasulallah dan sahabat-sahabat lain nya tidak tahu akan peristiwa itu? Jika mereka tahu, kenapa mereka tetap membiarkannya melakukan kesyirikkan? Jelas bahwa membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal yang diperbolehkan oleh Islam sesuai dengan dalil ayat al-Qur’an dan prilaku Salaf Sholeh, hukumnya tidak seperti yang diklaimkan oleh kelompok Wahabi yang berkedok Salafi itu. Wallahua’lam.

Dengan demikian golongan Wahabi/Salafi –sebagaimana yang telah kami kemukakan– tidak bisa membedakan antara ibadah dan ta’dzim (penghormatan tinggi), antara ibadah dan tabarruk pada Rasulallah dan pada orang sholeh atau antara ibadah dan tawassul pada Rasulallah, pada orang sholeh dan lain sebagainya. Golongan Wahabi ini tidak bisa memahami tolok ukur Tauhid dan Syirik serta memahami ayat-ayat ilahi dan sunnah Rasulallah secara tekstual dan literal saja tanpa melihat motif dan makna yang dimaksudkan dalam ayat Ilahi atau Sunnah Rasulallah saw. tersebut. 

Telah kami kemukakan juga bahwa didalam masjid Nabawi Madinah ada kuburan manusia yang termulia yaitu Rasulallah saw. dan kuburan Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar bin Khattab [ra], yang mana kaum muslimin sholat disamping, dibelakang, dimuka kuburan yang mulia ini. Kuburan ini –walaupun sekarang sekelilingnya diberi pagar besi– letaknya malah bukan disisi masjid tetapi didalam masjid Nabawi. Begitu juga kuburan (ibu) Nabi Ismail a.s di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah. 

Jutaan muslimin setiap tahunnya berebutan untuk bisa sholat disamping kiri dan kanan atau dimuka makam Nabi saw  dan di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah. Kalau memang ini perbuatan syirik dan haram, tidak mungkin dilaksanakan oleh jutaan muslimin yang sholat di tempat-tempat ini –––baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam. Tidak lain semuanya bukan termasuk beribadah kepada kuburan (yakni tidak ada keniatan untuk beribadah kepada kuburan melainkan hanya pengambilan barokah/tabarruk pada tempat yang mulia itu—pen.) dan bukan perbuatan haram. Wallahu a'lam.  

Memberi Penerangan terhadap kuburan

Salah satu hal yang sangat dibenci dan diharamkan oleh kaum Wahabi/ Salafi adalah memberi penerangan terhadap kuburan. Lepas dari apakah fungsi dari pemberian penerangan tersebut, namun ketika mereka ditanya tentang boleh atau tidaknya memberikan penerangan tersebut niscaya mereka akan menjawab secara mutlak Haram. Apalagi selain memberi penerangan atas kuburan juga ditambah dengan memberikan hiasan-hiasan pada makam para wali (kekasih) Allah maka menurut mereka adalah haram di atas haram. 

Golongan pengingkar ini menyandarkan pendapatnya dengan riwayat yang dinukil oleh an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya jilid 4 halaman 95 atau kitab Mustadrak ala Shahihain jilid 1 halaman 530 hadits ke-1384 yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: “Allah melaknat perempuan yang datang guna menziarahi kubur dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid, juga buat orang yang meneranginya (kuburan) dengan penerang”.

Padahal jika kita melihat pendapat para ulama Ahlusunah lainnya, maka akan kita dapati bahwa mereka membolehkannya, bahkan dalam beberapa hal justru sangat menganjurkannya. Lantas apakah ulama Ahlusunah ini lupa atau lalai terhadap hadits terakhir diatas itu, sehingga mereka menfatwakan yang bertentangan dengan hadits tersebut, bahkan dengan tegas mereka menyatakan “boleh” untuk memberi penerangan dikuburan ?

Kami telah kemukakan sebelumnya mengenai argumentasi hadits diatas itu, umpamanya pengakuan seorang ulama yang sangat diandalkan oleh kelompok Wahabi sendiri
,Nashiruddin al-Albani, dalam kitabnya yang berjudul Tahdzirul Masajid min it-Tikhodzil Qubur Masajid halaman 43-44 dimana ia mengatakan: “Hadits ini telah dinukil oleh Abu Dawud dan selainnya. Namun dari sisi sanad (urutan perawi) ternyata Hadits ini dihukumi lemah (Dha’if)”. )”.  Al-Albani kembali mengatakan: “Kelemahan hadits ini telah saya tetapkan dalam kitab al-Ahadits adh-Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayi’ fi al-Ummah”.
Tetapi nyatanya banyak dari kelompok Salafi/Wahabi sendiri tidak mengikuti wejangan ulamanya ini dan mengharamkan menerangi kuburan dengan berdalil pada hadits diatas itu.

Diantara yang menyatakan bahwa hadits itu lemah adalah al-Muslim (pemilik kitab shahih). Beliau dalam karyanya yang berjudul at-Tafshil mengatakan: “Hadits ini tidak jelas. Masyarakat tidak berpegangan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abu Shaleh Badzam. Orang itulah yang meriwayatkan hadits tadi dari Ibnu Abbas. Tidak jelas apakah benar bahwa ia telah mendengarkan hadits tersebut darinya (Ibnu Abbas)”.

Taruhlah bahwa analisa Nashiruddin al-Albani (ahli hadits Wahabi) tadi tidak dapat kita terima, namun kembali harus kita lihat argumentasi (dilalah) yang dapat kita lihat dari hadits tersebut. Jika kita melihat kandungan haditsnya niscaya akan semakin terlihat kelemahan hadits diatas tadi yang dijadikan landasan berpikir dan bertindak kaum Wahabi/Salafi dan pengikutnya. 

Pertama:
Tentu hadits itu tidak dapat diterapkan secara mutlak pada semua kuburan, umpamanya;. kuburan para nabi, Rasulallah, waliyullah, imam dan para ulama sholeh. Dimana mengagungkan kuburan mereka ini merupakan perwujudan dari “Ta’dhim Sya’airallah” (pengagungan syiar-syiar Allah) yang tercantum dalam ayat 32 surat al-Hajj dimana Allah swt berfirman: “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”.  
Bagaimana tidak, Shofa dan Marwah yang hanya dikarenakan larian-larian kecil Siti Hajar (ibu nabi Ismail as.) yang bukan nabi saja tergolong syiar Allah sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian dari syiar Allah” (QS al-Baqarah: 158), apalagi jika itu adalah bekas-bekas penghulu para nabi dan Rasul yang bernama Muhammad saw. Ataupun bekas-bekas para ulama dan kekasih Allah (Waliyullah) dari umat Muhammad yang dinyatakan sebagai pewaris para nabi dan ummat yang terbaik.

Kedua:
Hadits tadi hanya dapat diterapkan pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Terkhusus kuburan orang biasa yang jarang diziarahi oleh keluarga dan sanak familinya. Dengan memberi penerangan kuburan semacam itu niscaya akan menyebabkan membuang-buang harta bukan pada tempatnya (Israf /Mubadzir) yang tidak di anjurkan oleh Islam. Jadi pengharaman pada hadits tadi lebih dikarenakan sesuatu yang lain, membuang-buang harta tanpa tujuan (Mubadzir), bukan masalah pemberian penerangan itu sendiri secara mutlak.
Namun jika penerangan kuburan tersebut dipakai untuk menerangi kuburan orang-orang mulia –seperti contoh di atas tadi–, dimana kuburan tersebut sering dipakai orang untuk berziarah, membaca al-Qur’an, membaca do’a, melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan berfaedah lain yang dihalalkan oleh Allah, maka dalam kondisi semacam ini bukan hanya tidak dapat divonis haram atau makruh melainkan sangat dianjurkan. Karena hal ini menjadi perwujudan dari ungkapan Ta’awun ‘alal Birri wat Taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan takwa) sebagaimana yang diperintahkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dimana Allah berfirman: “Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.

Jelas hal itu bukan termasuk kategori dosa dan pelanggaran, karena jika itu kenyataannya maka mungkinkah Rasulallah yang kemudian diikuti oleh para Salaf Sholeh melakukan dosa dan pelanggaran, sebagaimana nanti yang akan kita singgung ? Atas dasar itu pula akhirnya para ulama Ahlusunah menyatakan “boleh” memberikan penerangan terhadap kuburan para nabi, para Rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) lainnya.

 Azizi dalam kitab Syarh Jami’ as-Shaghir jilid tiga halaman 198 dalam rangka mensyarahi/menjelaskan makna hadits tadi mengatakan: “Hadits tadi menjelaskan tentang ketidakperluan orang-orang yang masih hidup akan penerang. Namun jika hal tadi menyebabkan manfaat (buat yang masih hidup) maka tidak menjadi masalah”.

 Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid keempat halaman 95 mengatakan: “Larangan memberikan penerangan tersebut dikarenakan penggunaan lampu untuk hal tersebut merupakan membuang-buang harta tanpa ada manfaat yang berarti. Hal ini meniscayakan bahwa jika terdapat manfaat di balik itu semua maka hal itu telah mengeluarkannya dari pelarangan”.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Syeikh Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid pertama halaman 381: “Memberi penerangan pada kubur merupakan perbuatan yang dilarang. Hal itu dikarenakan membuang-buang harta. Kecuali jika disisi kuburan tersebut terdapat seorang yang masih hidup (yang memerlukan penerangan) maka hukumnya tidak apa-apa”.

  Dan terbukti bahwa penerangan terhadap kuburan merupakan hal lumrah yang telah dilakukan oleh para Salaf Sholeh semenjak dahulu. Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdadi jilid 1 halaman 154 yang pengisahannya disandarkan kepada seorang syeikh penduduk Palestina, dimana ia menyatakan: “Kulihat terdapat bangunan yang terang yang terletak di bawah tembok Kostantiniyah. Lantas kutanyakan perihal bangunan tersebut. Mereka menjawab: “Ini adalah makam Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat Rasulallah”. Kudatang mendekati makam tersebut. Kulihat makam beliau terletak di dalam bangunan tersebut dimana terdapat lampu yang tergantung dengan rantai dari arah atas atap”.

  Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid 14 halaman 383 menyatakan: “Salah satu kejadian tahun 386 Hijriyah adalah para penghuni kota Basrah mengaku bahwa mereka telah berhasil menemukan kuburan tua yang ternyata kuburan Zubair bin Awam. Setelah itu berbagai peralatan penerangan dan penghias diletakkan (dalam pemakaman) dan lantas ditunjuk seseorang yang bertugas sebagai penjaga. Dan tanah yang berada di sekitarnya pun diwakafkan”.

Minimalnya, semua argument diatas merupakan bukti bahwa pelarangan tersebut tidak sampai pada derajad haram, paling maksimal hanyalah dapat divonis sebagai makruh (kurang disenangi) saja, dan (makruh) inipun tidak mutlak. Terbukti ada beberapa hal yang menyebabkan pemberian penerangan itu dihukumi boleh (Ja’iz). Malah jika itu termasuk kategori Ta’dhim Sya’airallah atau Ta’awun ‘alal Birri wat Takwa –sebagaimana yang telah kita singgung di atas tadi– maka tergolong sesuatu yang sangat ditekankan/ dianjurkan. 
Begitu juga hadits di atas tadi –larangan pemberian lampu penerang– yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bertentangan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas yang pernah dinukil oleh at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 bab ke-62 dimana Ibnu Abbas berkata: “Suatu malam Rasulallah memasuki areal pemakaman (untuk berziarah). Saat itu ada seseorang yang menyiapkan penerang buat beliau”. Ini membuktikan bahwa menerangi pemakaman dengan lampu penerang tidak dapat dihukumi haram secara mutlak, namun sangat bergantung terhadap tujuan dan faedah di balik hal tersebut. Wallahua'lam.

Membuat bangunan (kubbah) diatas kuburan  

Kami tambahkan sedikit keterangan pendapat para ulama pakar mengenai pembangunan kubbah dan memberi penerangan diatas kuburan. Membuat bangunan diatas kuburan para sahabat Nabi, Ahlul-Bait, para waliyullah dan para ulama dibolehkan (ja’iz), bahkan dipasang penutup (kain dan sebagainya) pun dibolehkan.
Mengenai pemasangan kubbah diatasnya, para ulama berbeda pendapat, jika kuburan itu terletak pada tanah wakaf atau diwakafkan fi sabilillah. Lain halnya jika kuburan itu terletak pada tanah hak milik, dalam hal ini tidak dilarang dan para ulama pun sepakat atas kebolehannya. Menyalakan lampu diatas kuburan pun dibolehkan apabila bangun annya digunakan sebagai musholla, atau sebagai tempat belajar ilmu, atau tempat orang tidur didalam bangunan, membaca al-Qur’an atau untuk menerangi lalu lintas sekitarnya. Semuanya ini dibolehkan.  

Banyak riwayat diketengahkan oleh para ulama ahli hadits dan para ulama ahli Fiqih mengenai ja’iznya (dibolehkannya) hal-hal diatas itu. Bahkan diantara mereka ada yang berpendapat : ‘Meskipun dengan maksud kemegahan’. Hal ini disebut dalam kitab Ad-Durr Al-Mukhtar. Ada pula yang menegaskan ja’iznya pembuatan bangunan diatas kuburan, walau berupa rumah. Demikian itulah yang dikatakan para ulama muhaqqiqun (para ulama yang tidak diragukan kebenaran fatwa-fatwanya) dari empat madzhab  dan lain-lain. 

 Ibnu Hazm didalam Al-Muhalla mengatakan: “Jika diatas kuburan itu dibangun sebuah rumah atau tempat persinggahan pun tidak dimakruhkan (yakni boleh-boleh saja)”. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Muflih didalam Al-Furu’, bagian dari Fiqh madzhab Hanbali.
 Penulis Al-Mustau’ab dan Al-Muharrir mengatakan: “Pembuatan kubbah (di kuburan), rumah dan tempat untuk berkumpul diatas tanah milik sendiri tidak ada salahnya, karena penguburan jenazah didalamnya dibolehkan”. 
 Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnul-Qashshar dan jama’ah madzhab Maliki, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Al-Khattab didalam Syarhul-Mukhtashar. Itu mengenai kuburan orang awam. Mengenai kuburan orang-orang Sholeh, Ar-Rahmani mengatakan: “Diatas kuburan orang-orang sholeh boleh didirikan bangunan, sekalipun berupa kubbah, guna menghidupkan ziarah dan tabarruk”. 
 Murid Ibnu Taimiyyah yaitu Imam Ibnu Muflih dari madzhab Hanbali menyatakan pendapatnya didalam Al-Fushul: ‘Mendirikan bangunan berupa Kubbah, atau Hadhirah (tempat untuk berkumpul jama’ah) diatas kuburan, boleh dilakukan asal saja kuburan itu berada ditanah milik sendiri. Akan tetapi jika tanah itu telah diwakafkan di jalan Allah (musbalah), hal itu makruh (tidak disukai), karena mengurangi luas tanah tanpa guna’.  

Mengenai Ibnu Muflih itu, Ibnul Qayyim yang juga murid Ibnu Taimiyyah dari madzhab Hanbali, mengatakan : “Dibawah kolong langit ini saya tidak melihat seorang ahli Fiqih (pada zamannya) madzhab Ahmad bin Hanbal yang ilmunya melebihi dia (Ibnu Muflih)”. Wallahu a'lam. 

Insya Allah semua keterangan dibab ini dan bab-bab lainnya diwebsite ini, bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin, khususnya bagi orang yang mendapati kesalahan informasi mengenai ziarah kubur dan lain-lain yang telah dikemukakan tadi. Semoga hidayah dan ampunan Ilahi selalu mengiringi kaum muslimin semuanya. Amin


abdkadiralhamid@2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil untuk orang yang telah wafat"

Post a Comment

Silahkan komentar yg positip